Cerpen,Ana Balqis (jawa pos, 25 juli 2010)
DIALAH perempuan itu. Tidak segan mengaku Jawa meski
lama di kota-kota sebesar Paris atau Kanada atau Jepun. Kerap terbang
mengelilingi dunia bersama berus dan kanvasnya.
Sejak mengenalnya, banyak waktu saya mengintai ke dalam mata hitam pekatnya. Kata
gemulah nenda,
lihatlah ke dalam mata lawanmu beserta selawat tiga kali pabila
berkata-kata dengannya. Kelak kau dapat melihat kebenaran kerana yang
ada dalam hatinya akan terpancar di mata.
“Kamu bisa bicara apa saja denganku tapi bukan soal laki-laki,” tutur
Maria. Saya lalu sambut peringatannya dengan kata, “Itu bahasa orang
kecewa.”
“Aku?” Dia mencebir bibir bersekali dengan bahunya yang tergerak ke
atas kemudian melanjutkan bicara, “Tiada apa istimewanya makhluk itu.”
“Kau jujur?”
Maria bangkit dari sofa di ruang tamunya dan sebentar
berlenggang
ke dapur. Sebenarnya waktu itu saya mahu katakan begini, “Kau sudah
pada khatam tentang lelaki, ya.” Tetapi, saya tidak menyebutnya sampai
kini.
Maria keluar dengan dua mug oren segar di tangan. Satu dihulurkan ke
saya. Di sofa empuk berona biru pastel di depan saya, dia menghirup oren
segar di tangan kanan. Saya pandang Maria. Pipi mulusnya mengingatkan
saya kepada Ayu Syafiqah, anak kakak yang baru setahun itu. Tetapi
bayangan itu cepat pula hilang diganggu wajah Agung.
“Kamu mahu tahu pasal laki-laki yang selalu mengekormu tatkala kamu ke sini itu, kan?”
Saya coba menafi dengan mencebir bibir. Giliran Maria senyum sambil menerus kata, “Agung itu pacar Mela….”
Agung. Mela. Agung. Terlayang berjurus-jurus waktu fikiran saya.
Waktu itu kami di Bandara Juanda, saya mahu pulang ke Kuala Lumpur
sesudah melawat Maria seminggu. Mela memberi tahu dengan bibir mungil
dan selalu berwarna merah jambu itu; Agung suka saya. Sambut saya,
sepatutnya dia berapat dengan Agung. Dia juga bilang masih mahu keliling
dunia.
Saya juga suka mengembara. Pun dalam masa yang sama, harus bijak
mengatur waktu untuk menentukan usaha ayah tidak hancur separuh jalan.
Batik dan songket mesti kekal, itu kata ayah. Saya sependapat dengan
ayah. Tradisi penyambung nasab. Itu juga kata ayah dan saya menyetujui.
Makanya kini saya berpenghasilan dengan mengusahakan batik dan songket
peninggalan
gemulah ayah.
“Ngelamun…ngelamun.” Suara Maria menerjah telinga. Sedikit terkejut
saya –rupanya ingatan sudah kepalang kelananya. Entah di mana Mela, di
mana Agung. Yang ada saya dan Maria.
“Agung itu bila suka sama perempuan, Mela jadi badut. Dungu.”
“Mela dungu?”
“Jadi badut untuk pacar sendiri… itu pintar?”
Mela? Kami berkawan sejak dia masih menggunakan nama Ramelah binti
Ismail. Sejak masih anak-anak. Sejak dia belum meleburkan hitam di
rambut dan di mata. Sebelum dia faham makna globe di atas tanah. Dari
dia belum bergelar pramugari.
“Laki-laki nggak pernah puas,” sambung Maria seolah-olah memujuk.
Saya berkisar duduk. Air di mug tampak bergelombang. Sebesar gelombang
di Pantai Sabak—depan rumah saya di Kelantan. Saya lepaskan pandangan
keluar jendela. Angkut kota dan spedamotor berlari laju di jalan.
Ketika saya kembalikan sorot mata ke Maria di depan, saya mengatakan
ke hati; perempuan juga bertanggung jawab menyebabkan lelaki begitu.
Dalam kasus Mela misalnya.
“Kamu jatuh kasih sama Agung?” Alih-alih soalan itu saya dengar
berkelintar di ruang tamu rumah Maria yang terhias rapi mengikut rasa
seninya. Saya tidak menjawab kerana pada masa itu saya ternampak-nampak
Agung, jurutera kapal terbang yang beribu pejabat berhampiran menara
Eiffel yang juga anak pegawai tinggi kedutaan Indonesia di Paris itu.
Tahun sudah kami kenal dalam rangka saya menggantikan Mela ke Paris
yang mendapat pakej percuma dari sebuah agensi pelancongan. Sedang pada
masa itu Mela ada tugas.
Di lapangan terbang, saya dijemput Maria—artis yang baru selesai
mengadakan pameran solo di kedutaan negaranya di Paris. Itulah pintu
persahabatan kami. Dan, Maria kemudian kenalkan saya kepada Agung.
“Laki-laki cuma hidup untuk jalani takdir. Mereka pelupa. Penakut,”
tutur Maria. Kadang-kadang seperti berbicara kepada saya dan ada
ketikanya pula seperti dia bercakap kepada malaikat di sebelahnya.
“Apa?”
“Laki-laki hanya bisa diakrabi di ranjang,” sambung Maria acuh tidak
acuh. Sebentar senyum dan sebentar pula ketawa. Mug di meja kecil di
sisinya dipusing-pusing.
Saya seperti melihat teater. Bagaikan mengerti saya sudah selesai
menafsir tawanya, Maria meneruskan bicara, “Dari situlah aku kenal
mereka.”
Saya tenung muka Maria. Barangkali mata saya ketika itu entah
bagaimana bulatnya menyebabkan dia angguk dan cepat pula menambah, “tapi
aku masih aku seperti dilahirkan. Demi Tuhan!”
Maria percaya Tuhan?
Saya mahu biarkan omelannya. Saya alih sorot mata ke surat kabar yang
memuat berita rusuhan di Bangkok. Anak mata saya bergerak dari satu
foto ke satu yang lain. Tiba-tiba pula teringat kata Agung, zahir itu
menefestasi jiwa. Damai jiwa dunia aman.
Seorang temannya lain mencela, rusuhan itu gambaran jiwa rakyat kecil
yang ditindas. Peristiwa Bali sebagai misal. Itu gelodak dendam. Dendam
agama. Dendam perkauman. Dendam status ekonomi, dan pelmacam dendam
lain. Pokok pangkalnya, dendam. Waktu itu kami sedang makan-makan di
salah satu
stall di Sogo, Surabaya.
“Ya… maksudku laki-laki bercerita apa saja di ranjang. Kalau pintar,
sejuta kisah bisa digali. Dari lenguh badan atau uban di kepala terus
hal-hal yang bisa gegar dunia.”
Aduh!
“Mereka itu yang berstatus atau biasa-biasa, semuanya sama. Dalam
kepala cuma ada kita, perempuan. Lalu bagaimana mereka bisa jadi
pemimpin
tip-top?”
Saya tidak terus menjawab, sebaliknya berkeluh dua tiga kali kemudian
terfikir untuk berkata begini, “Kau prajudis, Maria. Masih banyak hal
penting yang mereka kerjakan,” tetapi belum sempat saya melepaskan
kata-kata itu di bibir Maria bersuara, “Jangan terlalu jadi pendamping.
Coba jadi pesaing. Kamu wajar renungi realitas. Dalam kepimpinan, sama
ada peringkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, wilayah atau
negara…. Siapa mutlak memimpin?”
“Tengoklah siapa yang diangkat sebagai ketua,” balas saya sambil
bangun dari sofa dan melakukan sedikit gerak ringkas dengan mata yang
terhala ke luar jendela. Gerak di aspal di depan rumahnya masih menyala.
“Uuuuu… cara fikirmu itu jujur sekali Dijah, Sayang….”
Saya senyum. Rasa dipersendakan. Malu pun ada. Tetapi tertanya-tanya
ke diri, salahkah jujur? Tiba-tiba Maria menyambung, “Aku pernah diminta
temani satu tokoh negara ke sidang antarabangsa di Paris kerana tokoh
itu tidak fasih
France. Jadi translator. Malamnya, dia bercerita segala. Dan, aku bisa datang padanya bila-bila waktu. Akhirnya… galeriku siap.”
“Untuk apa kamu cerita ini?”soalku sebal (klise tentunya).
“Supaya kamu tahu, pemimpin paling benar… wanita!”
Saya terkedu. Bagaimana jika orang labelkan Maria feminis lapuk? Atau
antilelaki. Antitabie. Atau anti-Tuhan? Sejurusnya dia berlenggok lagi
ke dapur dan keluar dengan sekotak biskut berserat. Maria kembali ke
sofa di depan saya. Dia kemudian menyoal saya yang saya jawab begini,
“Aku pedagang. Tak perlu seberani sebilangan wargamu yang dengan tanpa
ragu merenggut nyawa manusia lain di Kuta itu. Aku hatta menghidupkan
seekor semut juga tak mampu.”
***
Dan, suatu senja lain. Senja yang tinggal dua hari lagi saya di
Ketintang Timur. Di belakang kediaman Maria yang berdanau binaan itu,
kami duduk-duduk. Teringat kata Maria sebelumnya, kediaman itu tempatnya
mendamai resah panjang yang dibawanya dari serata ceruk perjalanan.
Rumah sederhana yang memuatkan sebuah studio dan galeri pribadi itu
tempat dia mendengar ketingan senduk penjual tahu tek atau penjaja bakso
yang seakan-akan telah menyebati dengan tanahnya.
Matahari di hujung langit sedang melambai kaki danau di barat.
“Aku cuma pingin tahu, sejauh mana mereka berawasan,” sambung Maria. Saya membalas lemas, “Itu percaturan.”
“Dan, aku menang,” tukasnya jelas. “Dan, kamu gila!” balas saya total.
“Aku terima apa saja anggapanmu, malah anggapan seluruh perempuan
dari serata alam. Aku nggak pernah takut, malah sudah dapat konklusi
paling tepat mengenai laki-laki.”
“Ya, kalau memang kamu gila, apa guna penafian,” balas saya dalam logat Jakarta. Dan, saya memaksudkan kata-kata itu.
“Kamu percaya cinta?” Maria bertanya polos. Soalan yang agak
menyimpang dari tajuk perbualan tetapi bahu dan kening saya sepadu
tergerak.
“Jawablah dengan yakin. Kamu bukan subyek ujikajiku, Dijah.”
Saya menjeling Maria selintas. Dia lebarkan senyum dan angguk.
Matanya menanti jawaban. Saya menggeleng tetapi akhirnya terpacul kata,
“…tapi aku masih berharap Tuhan hadirkan mereka sebagai ayah kepada
anak-anak halal untukku walaupun aku tahu, wujud itu bukan sifat
manusia.”
Maria senyum dan mengangkat ibu jarinya lantas melampir kata, “Kamu pintar dan sadar sifat Tuhanmu.”
“Tapi kau tidak percaya Tuhan.”
“Aku
nggak percaya cinta. Di mana-mana kita dimomokkan oleh fantasi mereka. Kamu tahu fantasi laki-laki tentang wanita?”
Saya bingkas dari bangku. Kelihatan beberapa ekor bebek di bawah
jembatan kayu yang dibina merentasi danau itu sudah mulai menuju
daratan, lalu saya menganjurkan, “Yuk masuk. Sia-sia bicara soal begini.
Cerita tentang anak-anak hilang ibu ayah di Kuta lagi manusiawi.”
“Jangan selimuti kebenaran dengan dongeng. Sudah sekian waktu wanita
dianiaya. Di Kuta atau di pedalaman Sarawak, negaramu itu. Di bumi
Inggeris atau di Plestina atau di tepian Sungai Ganga.”
“Wanita yang aniaya diri mereka… malas aku!”
“Dengar sini, Nona Manis,” usul Maria sambil mencuit bahu saya. Ketika itu dia benar-benar berada di depan saya—menghadang.
“Keinginan laki-laki nggak terbatas. Dan dari bermiliar keinginan
itu, sembilan puluh sembilan miliarnya adalah fantasi mereka tentang
kita. Selebihnya, barulah kuasa dan harta.”
Tentang kita?
“
Nggak percaya?” desak Maria dengan soal. Saya masih diam—asebenarnya terkejut dengan persentasi yang disebut Maria.
“Barangkali kamu cuma sinonimkan lelaki dengan segala cerita ganas.
Perang dan kuasa,” tebak saya kerana selalu sedar posisi wanita dalam
agama.
“Kamu mau katakan kita ini berawal dari
nasab yang satu,
Adam. Begitu? Tapi barangkali kamu lupa, justeru wanita itu sudah hampir
sempurna maka Tuhan ciptakan laki-laki sebagai pemimpin. Jika wanita
diberi hak memimpin, tiada guna lagi kehadiran laki-laki di muka dunia
ini.”
Saya angkat kening lama. Serasa-rasa nafas jadi pendek.
“Memang Tuhan mencipta laki-laki lebih dulu tapi yang tercipta tanpa ibu cuma Adam.”
“Ayuh kita masuk. Sebentar lagi magrib.”
“Kamu bilang mahu habiskan liburmu, mahu nikmati senja di Surabaya
sama aku. Mungkin ini kali akhir kamu dengar ceritaku. Kenyataan bukan
mimpi tapi mimpi mungkin jadi kenyataan. Itu dua situasi berbeda,
Manis.”
Diam.
“Siapa pun pemimpin laki-laki yang kamu bariskan, segagah atau
seteguh mana peribadi laki-laki itu, rumah pertamanya adalah kantung
rahim seorang wanita.”
Saya pandang muka Maria. Feminis!
“Kamu tahu apa fantasi laki-laki?” Belum sempat saya bereaksi, Maria menambah, “Meniduri wanita yang berbeda pada setiap malam.”
Saya memejam. Aduh….
“Maria ayahmu….”
“Laki-laki. Adikku, bahkan dua eyangku juga. Jauh terdahulu dari itu ada kerabat laki-laki yang jadi penasabku.”
Saya diam sambil tenung muka Maria. Kaki terasa pegun dari langkah.
“Kamu prihatin. Sentimental. Terserah mahu bereaksi kayak apa tentang
laki-laki tetapi kamu harus tahu ini. Kuta barangkali nggak hancur jika
Micheal Lord, anak supir dari Negeri Kangaru itu nggak tiduri Yanti.”
Dongeng apa ini?
“Dan, tatkala Dewi kakak si Yanti,
mistress kepada si laknat Micheal itu meraung marah, Micheal pura-pura menyesal.”
Saya terpana mendengar.
“Suatu malam Micheal membekalkan bom pada telepon tangan Dewi ketika
mengajak perempuan itu ke bar dan kemudian, si laknat itu pulang ke
hotel. Dari jauh laknat itu menekan suis jangka dan semuanya hancur.”
Dalam kepala teringat berita yang pernah saya lihat.
“Tapi koranmu?”
“Khadijah, itu gara-gara kemahuan nggak terbatas laki-laki. Miliki
dua perempuan senasab sekaligus. Tapi, itu tidak bisa kamu baca di
mana-mana.”
“Jadi, kau tahu?”
“Micheal pernah sekamar denganku. Tika sarafnya kubius dengan wiski,
dia bercerita. Kemudian dia bunuh Yanti dengan cara sama, nggak lama
sesudah itu.”
Aku memejam. Kelam rasanya alam. Tuhan!
“Dulu, aku juga kayak kamu.”
Sayu nada suara Maria.
Stand lukisan dirapatkan. Kanvas yang masih putih dihulurkan kepada saya. Dengan tangan bergetar dari hati sebal, saya sambutnya.
Diam.
“Justeru dari rasa pingin tahu itulah aku nekad kenal laki-laki.
Mereka teruji oleh wanita, kuasa, dan uang. Jadi, apa guna aku hadir di
muka dunia ini jika nggak manfaatkan kesempurnaan diri untuk tujuan
indah-indah.”
Astaghfirullah!
Apakah sudah sebobrok itu jiwa mereka? Ke mana hilangnya semangat
bambu runcing yang pernah menjadi senjata jihad moyang mereka
membebaskan leluhurnya dari cengkeraman Belanda? Atau apakah semangat
bambu runcing itu yang menukar dia jadi begitu?
Saya mengintai matahari di kaki senja.
“Khadijah, tika usiaku sepuluh, eyang sebelah papa coba cabul
kehormatanku. Nggak lama setelah itu, papa. Kemudian lagi, dua saudara
laki-lakiku. Tapi semua bisa kuhindar.”
Serentak tuturnya yang sadis tetapi pedih itu, sukma saya disimbah
belas. Ketar hati saya. Calar balar kalbu saya. Tidak tertelan rasanya
liur di rongkongan. Tidak jua terludah.
“Bila bersisi dengan pacar, kamu cuma mau perlindungan, kan? Kamu
nggak pernah niat leburkan keperawanan untuk siapa pun kecuali suamimu,
benar?”
Saya angguk perlahan. Terasa keinginan itu syahdu.
“Bagi laki-laki nikah itu beban berat, sedang wanita idami syurga
dari gelar isteri. Nah, kamu nampak perbedaan itu? Satu lagi, mereka
bukan sekadar impikan wanita yang berbeda setiap malam tetapi juga
bercerita kepada sobat-sobat, lagi-lagi jika wanita itu orang tenar.
Bangga mereka andai wanita itu bisa dibawa berlibur apalagi jika mampu
diajak ke kamar.”
Saya mengeluh. Dalam.
“Jika wanita berbuat ulah, mereka sedaya mungkin menutup kisah.”
“Dan kau?”
Maria senyum sebelum menyambung dalam notasi yang lain, “Khadijah, kamu akan kalah jika masih menyimpan harap begitu.”
“Aku ada doa.”
“Laki-laki yang mau sempurnakan fitrah mereka dalam makna tulen amat kecil persennya. Padahal tanggung jawab itu tangga ke
maqam ulul, bukan?”
Dada saya diusik getar. Benarkah Maria yang bersuara itu?
Selesai menunaikan salat isyak, saya berpaling menghadap Maria di
katil dan bersuara kering, “Kamu bilang masih, padahal kamu kerap
seranjang dengan mereka. Bagaimana tu?”
Maria ketawa kecil dan manis tetapi
pedu.
“Karna aku Maria!”
***
Suatu siang Maria bersuara khusyuk, “Khadijah, sudah kukenal sekian
laki-laki dan mau menambah fakta konklusiku. Aku faham, manusia itu
tercipta dalam rupa laki-laki dan perempuan. Justeru sebagai manusia
nggak wajar aku coba jadi Tuhan.”
***
Semalam saya terima sekeping poskad dari Baitullah dengan catatan di
dadanya, “Moga Allah selalu memberkatimu, Khadijah manis. Temanmu….
Mariam.”
Mariam?
***
Tadi, saya mengambil panggilan daripada Agung, “Sahabatmu sudah tiada.”
“Sahabatku? Siapa sahabatku?”
“Dia meninggal dalam salat di Masjid Nabawi.”
“Mela?”
“Maria alias Mariam.”
Otak terputar ke detik tanpa waktu khusus. Jantung terasa diam dari
detak. Darah terhenti bernafas. Kesal memanak datang. Entah kesal kepada
apa. Rongkongan didesah sebak. Poskad dari Baitullah melayang ke mata.
Ke hati. Ke mana-mana.
Kesasar.
Allah…. Mariaaaaaaaa….
Innalillah wainnailaihi rajiunnnnn…. (*)
Glosari
- Gemulah nenda = arwah
- Berlenggang = berjalan santai
- Mencerlung = mencelik mata membayangkan rasa tidak puas hati
- Cedas = cepat
- Tip-top = teratas/hebat/ besar
- Nasab = keturunan
- Maqam ulul = darjat mulia dalam agama (selepas mati)
- Pedu = pahit