SEMOGA BERBAHAGIA

Diposting oleh Unknown on Minggu, 30 Juni 2013

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Minggu,30 juni 2013 aku beserta kawan-kawan menghadiri walimatul arsy temanku, yang tidak lain adalah anggota king's poker warkop BS-9. yang bernama :
Nashrudin dengan Imro' magfiroh di desa dadapan, kec. solokuro, kab. Lamongan. Butuh 2jam perjalanan untuk nyampek sana.dengan bekal bismillah dan doa kami pun berangkat dari surabaya menuju lamongan. Seperti biasa di perjalanan canda,tawa pun kami suguhkan, dengan rute yang amat panjang dan berbelok kami tak gentar untuk menempuhnya. Layaknya pembalap profesional kami berjibaku saling balap-membalap mungkin pengarung moto-GP semalam. ha..ha..ha..
Sampai di kota gresik kami berhenti sejenak di bundaran GKB, mumpung hari minggu lihat ibu-ibu senam di taman.. asoy....!! Sambil menunggu teman kita yang masih ketinggalan di belakang. Tak lama kami pun mencari obat ngantuk dan pilihannya jatuh di warkop lesehan depan UNMUH ( universitas muhammadiyah gresik). Tiga kata untuk tempat itu (ma'af gorenganya habis ).

Kami pun segera melanjutkan perjalanan. Sampai dikota lamongan kami rehat sejenak singgah di masjid AL-IHLAS, tepatnya di desa paciran. Sambil cuci muka, biar rata hehehe.. Tu lihat wajahnya ratakan!!




Selesai cuci muka, kencing, foto-foto, oia lupa ada yang berak juga (mbah siroj namanya) kami segera melanjutkan perjalanan ketempat yang paling dituju desa ndadapan.
Wuuiiihh jalanannya keren abis sampai membuat orang pengen muntah tapi demi persaudaraan itu semua tiada guna (moga denger pengantinya).
Yup, pukul 10:00 WIB kami nyampek rumah mempelai wanita, ternyata acaranya sudah di mulai dari tadi. Kayak orang-orang yang gak punya dosa kami nyelonong ketempat penata soundsyestem tanpa pamit tanpa salam (biasa preman) terpaksa tuan rumah nganter jajan dan sedikit suguhan (tamu adalah raja).



Acara demi acara telah di tampilakan tapi tidak stu pun dari kami yang mendengarkan apalagi menyimak. Hanya kata "luwih" yang kami kobar-kobarkan bersama, maklum dari pagi belom sarapan.
Dan akhirnya acara pun selesai dengan baik, tiba saatnya mengucapkan selamat pada kedua pengantin dan tak lupa foto-foto ..



Tuntas sudah acara waktunya untuk pulang tapi sebelumnya kami atas nama anak-anak warkop BS-9 mohon maaf atas keterlambatan, dan kelakuan yang kurang menyenangkan baik lisan atau tindakan. Dan kami semua mengucapkan  
" Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir "
untuk pengantin yang berbahagia NASHRUDIN dan IMRO'ATUL MAGFIROH.
Semoga menjadi keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahma. Amin..Amin Ya Robbal Alamin..


More aboutSEMOGA BERBAHAGIA

Belajar Ijab Qobul dan Memahami Maknanya

Diposting oleh Unknown on Selasa, 25 Juni 2013





Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ehm, berhubung empunya blog sedang ngebet nikah maka kali ini topik kita adalah ijab qabul. Hehehe, sekalian belajar Bro, daripada ntar pas hari H, Jam J, dan detik D gelagapan gak karuan gara2 gak fasih dalam melafalkan kalimat Ijab Qobul.
Jadi setelah searching-searching di google ane mau bagi2 in yang ane dapet nih gan. Biar sampean-sampean yang kebetulan juga akan menuju bahtera rumah tangga ikut ngerti getoo..




So, Dalam ijab dan qobul pernikahan, penghulu akan mengucapkan pernyataan di bawah ini:

اَنْکَحْتُكَ وَ زَوَّجْتُكَ مَخْطُوْبَتَكَ .... بِنْتِ .... عَلَی الْمَهْرِ
....

(Ankahtuka wa Zawwajtuka Makhtubataka .... Binti .... alal Mahri ....)

Artinya:
“Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu .... puteri ..... dengan mahar .....”

Itu jika yang mengakadkan orang lain (bukan ayah mempelai perempuan). Namun jika ayahnya langsung yang menikahkan maka setelah kata “pinanganmu” (مخطوبتك) bisa ditambah dengan dengan kata “puteriku” (بنتي) sehingga menjadi:

اَنْکَحْتُكَ وَ زَوَّجْتُكَ مَخْطُوْبَتَكَ بِنْتِيْ .... عَلَی الْمَهْرِ ....

(Ankahtuka wa Zawwajtuka Makhtubataka Binti .... alal Mahri ....)

Artinya:
“Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu puteriku ..... dengan mahar .....”

Nah, ini dia yang saya cari-cari, kalimat qabul yang diucapkan oleh mempelai pria. Setelah kalimat ijab diucapkan, maka mempelai Pria harus dengan segera dan tanpa jeda yang signifikan mengucapkan kalimat Qabul yang bunyinya sebagai berikut:

قَبِلْتُ نِکَاحَهَا وَ تَزْوِيْجَهَا عَلَي الْمَهْرِ الْمَذْکُوْرِ وَ رَِضِْیتُ بِهِ وَ اللهُ وَلِيُّ التَّوْفِیْقِ

(Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq)
Artinya:
“Aku terima pernikahan dan perkawinannya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah”



Nah, yang tadi kan versi bahasa Arabnya, kurang afdhol kalo kita gak tau versi bahasa Indonesia-nya. Jadi pernyataan Ijab Qabul dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:

Saya nikahkan engkau, xxxx <nama calon mempelai pria> bin yyyy <nama ayah calon mempelai pria> dengan ananda xxxx <nama calon mempelai wanita> binti yyyy <nama ayah calon mempelai wanita>, dengan mas kawin zzzz <semisal: perhiasan emas 22 karat seberat 5 gram> dibayar <tunai/hutang>

Pernyataan di atas harus segera dijawab oleh calon mempelai pria, tidak boleh ada jeda waktu yang signifikan (sehingga bisa disela dengan pengucapan kabul oleh pihak selain calon mempelai pria), yaitu:

Saya terima nikahnya xxxx <nama calon mempelai wanita> binti yyyy <nama ayah calon mempelai wanita> dengan mas kawin tersebut dibayar <tunai/hutang>

Jadi apabila sampean-sampean yang akan menikah dan ingin melafalkan qabul dalam bahasa Arab, yang perlu diingat adalah sebagai berikut:

"qabiltu nikahaha wa tazwijaha bil-mahril-madzkur"

Kemudian kalau ingin seperti lafal qabul dalam film Ayat-Ayat Cinta tinggal tambahin aja kalimat sebagai berikut:
" 'ala manhaji kitabillah wa sunnati rasulillah "


 Tapi yang lebih penting itu yang ini sob, kita harus memahami dan mendalami ijab qobul sebenarnya :

Tanggung jawab Suami Selepas Ijab Kabul, Saat Ijab Qabul terucap.
("Saya terima nikahnya si... binti si... dengan mas kawinnya... di bayar tunai. ")
Singkat, padat dan jelas. Tapi tahukan makna “perjanjian atau ikrar” tersebut?
Itu yang tersurat. Tetapi ada pula yang tersirat?

Yang tersirat ialah:

Artinya: "Maka aku tanggung dosa-dosanya si dia (perempuan yang ia jadikan istri) dari ayah dan ibunya. Dosa apa saja yang telah dia lakukan. Dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan shalat. Semua yang berhubungan dengan si dia (perempuan yang ia jadikan istri), aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung. Serta akan aku tanggung semua dosa calon anak-anakku." Aku juga sadar, sekiranya aku gagal dan aku lepas tangan dalam menunaikan tanggung jawab, maka aku fasik, suami yang dayus dan aku tahu bahwa nerakalah tempatku kerana akhirnya isteri dan anak-anakku yang akan menarik aku masuk ke dalam Neraka Jahanam dan Malaikat Malik akan melibas aku hingga pecah hancur badanku. Akad nikah ini bukan saja perjanjian aku dengan si isteri dan si ibu bapa isteri, tetapi ini adalah perjanjian terus kepada ALLAH.

Jika aku GAGAL (si Suami)?

"Maka aku adalah suami yang fasik,ingkar dan aku rela masuk neraka.Aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku." (HR. Muslim)

Duhai para isteri...

Begitu beratnya pengorbanan suamimu terhadapmu. Karena saat Ijab terucap... Arsy-Nya berguncang karena beratnya perjanjian yang dibuat olehnya di depan ALLAH, dengan disaksikan para malaikat dan manusia. Maka andai saja kau menghisap darah dan nanah dari hidung suamimu, maka itupun belum cukup untuk menebus semua pengorbanan suami terhadapmu...

Semoga jadi untuk pengalaman yang sudah nikah maupun yang belum...

Subhanallah... beratnya beban yang di tanggung suami. Bukankah untuk meringankan tanggung jawabnya itu berarti seorang istri harus patuh kepada suami, menjalankan perintah ALLAH dan menjauhi larangan-Nya? Juga mendidik putra-putri kita nanti agar mengerti tentang agama dan tanggung jawab. Semoga kita semua menjadi orang tua yang dapat memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita kelak dengan agama dan cinta kasih sehingga tercipta keluarga kecil yang sakinah, mawaddah, warahmah. Aamin.
More aboutBelajar Ijab Qobul dan Memahami Maknanya

Manusia Dan Tanggung Jawab

Diposting oleh Unknown on Senin, 24 Juni 2013


Tanggung jawab adalah sifat terpuji yang mendasar dalam diri manusia. Selaras dengan fitrah. Tapi bisa juga tergeser oleh faktor eksternal. Setiap individu memiliki sifat ini. Ia akan semakin membaik bila kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda.
 
Tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan. Yang kami maksud adalah perasaan nurani kita, hati kita, yang mempunyai pengaruh besar dalam mengarahkan sikap kita menuju hal positif. Nabi bersabda: "Mintalah petunjuk pada hati (nurani)mu."
 
Dalam wacana keislaman, tanggung jawab adalah tanggung jawab personal. Seorang muslim tidak akan dibebani tanggung jawab orang lain. Allah berfirman: "Setiap jiwa adalah barang gadai bagi apa yang ia kerjakan." Dan setiap pojok dari ruang kehidupan tidak akan lepas dari tanggung jawab. Kullukum râ'in wa kullukum mas'ûlun 'an Ro‘iyyatih.....
 
Tanggung jawab bisa dikelompokkan dalam dua hal. Pertama, tanggung jawab individu terhadap dirinya pribadi. Dia harus bertanggung jawab terhadap akal(pikiran)nya, ilmu, raga, harta, waktu, dan kehidupannya secara umum. Rasulullah bersabda: "Bani Adam tidak akan lepas dari empat pertanyaan (pada hari kiamat nanti); Tentang umur, untuk apa ia habiskan; Tentang masa muda, bagaimana ia pergunakan; Tentang harta, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia gunakan; Tentang ilmu, untuk apa ia amalkan."
 
Kedua, tanggung jawab manusia kepada orang lain dan lingkungan (sosial) di mana ia hidup. Kita ketahui bersama bahwa manusia adalah makhluq yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya untuk pengembangan dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kewajiban-kewajiban moral terhadap lingkungan sosialnya. Kewajiban sangat erat kaitannya dengan eksistensi seseorang sebagai bagian dari masyarakat. Kita sadar bahwa kalau kita tidak melaksanakan tanggung jawab terhadap orang lain, tidak pantas bagi kita menuntut orang lain  untuk bertanggung jawab pada kita. Kalau kita tidak berlaku adil pada orang lain, jangan harap orang lain akan berbuat adil pada kita.
 
Ada sebagian orang yang berkata bahwa kesalahan-kesalahan yang ia lakukan adalah takdir yang telah ditentukan Tuhan kepadanya. Dan dia tidak bisa menolaknya. Satu misal sejarah; suatu ketika di masa Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan  kemudian dibawa ke hadapan khalifah. Beliau bertanya: "Mengapa kamu mencuri?", pencuri itu menjawab "Ini adalah takdir. Saya tidak bisa menolaknya." Khalifah Umar kemudian menyuruh sahabat-sahabat untuk menjilidnya 30 kali. Para sahabat heran dan bertanya "Mengapa dijilid? bukankah itu menyalahi aturan?"  Khlaifah menjawab "Karena ia telah berdusta kepada Allah."
 
Seorang muslim tidak boleh melepas tangan (menghindar dari tanggung jawab) dengan beralasan bahwa kesalahan yang ia kerjakan adalah takdir yang ditentukan Allah kepadanya. Tanggung jawab tetap harus ditegakkan. Allah hanya menentukan suratan ulisan) tentang apa yang akan dikerjakan manusia berdasarkan keinginan mereka yang merdeka, tidak ada paksaan. Dari sinilah manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa yang ia lakukan. Mulai dari hal yang sangat kecil sampai yang paling besar.  
"Barang siap yang berbuat kebaikan, walau sebesar biji atom, dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang berbuat kejelekan, walau sebesar biji atom, maka ia akan melihatnya pula" (al Zalzalah 7-8).
More aboutManusia Dan Tanggung Jawab

Pengabdian Seorang Istri

Diposting oleh Unknown


Subhan tidak bisa menolak apa yang telah direncanakan orangtuanya, yaitu perjodohan dengan perempuan yang sama sekali tidak dikenalnya.
“Azizah adalah perempuan yang sangat baik. Dia pandai menata rumah. Selain itu, dia adalah perempuan yatim piatu yang salihah,” kata ibunya.
“Bagiku, perempuan salihah yang akan mendampingimu jauh lebih berharga dibandingkan semua perempuan cantik di dunia ini,” lanjut ayahnya mantap.
Hati Subhan berontak. Namun, dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka karena menentang orangtua. Akhirnya, dia pasrah dan menuruti kemauan orangtuanya.
“Jika kau setuju, Anakku. Kami akan menjemput Azizah di kampungnya,” ujar ayahnya.
Bagaimana mungkin aku tidak setuju? Kata subhan dalam hati.
Subhan hanya mengangguk setuju. Ia tak ingin mengecewakan keinginan orangtuanya. Jika perjodohan ini membuat orangtuanya bahagia, Subhan akan menyetujuinya. Bagi Subhan, tidak ada yang lebih berharga selain membahagiakan orangtuanya.

Paras Subhan yang tampan memudahkan dirinya memilih perempuan cantik mana pun yang akan dijadikan istrinya. Sebenarnya, Subhan memiliki kriteria sendiri untuk calon pendampingnya. Dia ingin mendapatkan seorang perempuan yang elok. Semua harapannya tinggal impian. Azizah, gadis yang dijodohkan dengannya, sama sekali tidak dia ketahui rupanya.

Ketika khitbah, sekilas ia menatap wajah calon istrinya. Menurut ayah dan ibunya, Azizah baik. Subhan bisa melihat dari wajahnya yang teduh dan damai, tetapi tidak ada guratan kecantikan di sana. Aaah…
Azizah adalah perempuan dengan rupa yang sederhana, jauh dari kriterianya. Batin Subhan menjerit, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Di lubuk hatinya, dia tetap menilai kecantikan perempuan bukan sekadar baik. Namun, perempuan itu haruslah memiliki tubuh tinggi , langsing, mata bulat lengkap dengan bulunya yang lentik, hidung mancung, bibir ranum, dan kulit yang indah. Azizah, tidaklah demikian.


Perjodohan harus terlaksana. Subhan tidak bisa menolak keinginan orangtuanya. Dengan sekuat tenaga, Subhan mengusir kriteria perempuan dan berusaha menerima Azizah apa adanya. Berusaha mencintainya, walau rasanya itu akan sia-sia saja.
Akhirnya, pernikahan terjadi. Subhan melihat Azizah begitu bahagia. Sinar matanya mengatakan hal itu. Subhan berusaha untuk bahagia. Demi orangtuanya, Subhan berusaha membuat semuanya terlihat bahagia, walau setiap malam hatinya menjerit. Begitu sulit melepaskan diri dari kriteria perempuan impiannya.

Hari demi hari, dia semakin tidak mampu berpura-pura bahagia. Subhan merasa hidupnya sia-sia. Dia mulai marah dengan keadaan itu. Ya, dia mengakui bahwa Azizah melayaninya dengan baik. Azizah seorang istri yang baik, tetapi itu tidak cukup membuat Subhan mencintainya.
Subhan mulai mengacuhakan Azizah. Azizah semakin menyadari bahwa suaminya tidak mencintainya. Subhan semakin ketus hingga akhirnya Azizah bertanya kepadanya, tetapi Subhan tak menjawab.
“Apa pun yang kaulakukan padaku, aku akan tetap mengabdi padamu sebab kau adalah suamiku,” ujar Azizah mantap.
Subhan hanya diam tak menyahut. Ternyata memang benar, walau Subhan bertindak seenaknya, Azizah tetap melayani Subhan dengan baik. Azizah memang istri yang baik dan benar kata orangtuanya, Azizah juga perempuan yang salihah. Saat tengah malam, dia tak pernah absen shalat tahajud dan melantunkan ayat Al-Qur’an. Namun hal itu sama sekali tidak membuat hati Subhan tergugah. Kadang, Subhan memaki dirinya sendiri. Mengapa dia begitu terobsesi pada perempuan cantik ? Bukankah dalam agama Islam diajarkan bahwa keimanan adalah faktor terpenting dalam memilih pasangan?

“Aku hamil,” kata Azizah suatu pagi. Subhan hanya menatapnya dengan dingin lalu pergi begitu saja.

Pada suatu hari, di tengah perjalanan menuju rumah, Subhan bertemu dengan sahabat lamanya. Wajah sahabatnya itu sungguh berduka.
“Mengapa kau terlihat bersedih?” tanya Subhan.
Sahabat Subhan lalu mengajak Subhan berteduh di sebuah masjid.
“Aku ingin bercerita,” katanya.
Subhan berjalan mengikuti sahabatnya menuju masjid. Dalam hatinya ia bertanya tentang hal yang ingin di ceritakan sahabatnya itu. Seharusnya dia bahagia karena telah menikahi seorang perempuan yang sangat cantik.
“Ini mengenai pernikahanku. Maafkan aku, ya Allah…,” desisnya pelan. “Aku tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan istriku, tapi…” lanjutnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Subhan.
“Kau tahu betapa aku sangat mencintai istriku. Kuakui aku jatuh cinta padanya karena dia sangat cantik dan sempurna.”
“Ya…,” terbayang di benak Subhan wajah istri sahabatnya yang memang sangat cantik.
“Pada awalnya, orangtuaku tidak merestui hubungan kami. Hingga Ayah menanyakan, mengapa kau tidak menikahi perempuan yang salihah? Ya, memang benar istriku tidak sempurna dalam akhlaknya. Dia adalah perempuan yang jarang mengaji dan shalat. Hatiku telah dibutakan oleh kecantikannya.”
“Lalu?” tanya Subhan penasaran.
“Ternyata, pernikahanku memang tidak bahagia. Istriku terlalu banyak menuntut. Awalnya, aku memaklumi karena dia memang masih awam dalam hal agama. Aku sebagai suaminya, akan berusaha menuntunnya. Namun, aku justru semakin tersiksa dengan sikapnya. Jika tuntutannya tidak kukabulkan, dia tidak memperlakukanku seperti seorang suami. Istriku sangat boros, bahkan kini aku memiliki begitu banyak utang karenanya. Ketika aku menegurnya, dia beralasan karena aku tidak bisa mencukupi kebutuhannya, padahal…”
“Ya…?” mata Subhan membulat.
“Tahukah kau? Orangtuaku kini jatuh miskin karena semua yang mereka miliki diberikan kepadaku demi membahagiakan istriku.”
Subhan tertegun.
“Kini, aku tidak memiliki apa-apa lagi. Istriku malah semakin tidak menghormatiku,” kata sahabat Subhan sambil menitikkan air mata.
“Istriku meminta cerai. Alasannya, dia bisa lebih bahagia dengan lelaki kaya yang sanggup memberikan segalanya.”

Cerita sahabatnya itu membuat hati Subhan teriris. Apa yang sudah dia lakukan pada Azizah sungguh tidak adil. Allah memberinya jodoh terbaik. Azizah memang tidak cantik, tetapi dia adalah seorang perempuan yang salihah. Dia adalah seorang istri yang sangat menghormati suaminya. Dia adalah istri yang tak pernah menuntutnya, bahkan dia memberikan cinta tanpa pamrih yang begitu indah.

Selepas mendengarkan kisah pilu sahabatnya, diam-diam hati Subhan bertekad bahwa tidak ada lagi kriteria perempuan impian dalam hatinya. Bidadari itu sudah dikirimkan Allah untuknya.
“Azizah, aku akan berusaha mencintaimu,” kata Subhan dalam hatinya.
Sebelum pulang, Subhan menyempatkan diri ke sebuah toko untuk membeli sebuah jilbab yang cantik. Dia ingin membuat Azizah bahagia dan memberinya senyum yang manis. Setiba di rumah, ketukan pintu Subhan tidak dihiraukan.
“Ke mana istriku?” tanyanya dalam hati.
Kreeeek… ternyata pintu rumah tidak terkunci.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam.” Dari arah kamar, terdengar suara lirih Azizah.
Dengan langkah cepat, Subhan menuju kamar. Dilihatnya Azizah tergeletak di kasur dalam keadaan lemas.
“Ya Allah, apa yang terjadi padamu?” (Subhan memeluk Azizah )
 “Aku terjatuh di kamar mandi,” jawab Azizah lirih.
“Kenapa kau tidak pergi ke rumah sakit? Tidak adakah yang menolongmu?” (Subhan gusar )
“Aku belum meminta izinmu, Suamiku.”

Subhan menangis, dadanya terasa sesak. Dalam tangisannya, terbayang sikapnya yang tidak adil kepada Azizah. Pengorbanan dan pengabdian Azizah sungguh luar biasa. Subhan memeluk erat tubuh Azizah hingga Subhan merasakan detak jantung Azizah berhenti. Azizah meninggal dalam pelukannya dengan wajah yang sangat teduh. Dia terlihat cantik. Dalam penyesalan yang meyeruak, Subhan merasakan angin sejuk menghampiri dirinya. Cahaya cinta yang memancar dari wajah Azizah semakin kuat untuknya. Subhan menyesal karena tidak memberikan hatinya untuk perempuan itu.

Di samping tubuh Azizah, terdapat sepucuk surat. Subhan lalu membacanya dengan pandangan yang terhalang air mata.
Suamiku, maafkan aku karena tidak membuatmu bahagia. Berikan ridha dan ikhlasmu untukku dan anak kita. Aku mencintaimu.  ISTRIMU

Subhan menangis tersedu-sedu, “ Kenapa cinta ini datang terlambat, ya Allah, ampuni aku ya Allah, aku menyesal, akankah aku bisa mendaptkan Azizah kembali  ya Allah ? “ .
ya….Allah menghukumnya dengan penyesalan yang luar biasa.

sesungguhnya, dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (istri) yang salihah.” –HR MUSLIM

" Diperhiaskan bagi manusia kesukaan kepada barang yang diingini, (yaitu) dari hal perempuan dan anak laki-laki, dan berpikul-pikul emas dan perak, dan kuda kenderaan yang diasuh, dan binatang-binatang ternak dan sawah-ladang. Yang demikian itulah perhiasan hidup di dunia. Namun di sisi Allah ada (lagi) sebaik tempat kembali "

 " Katakanlah: sukakah kamu aku ceritakan kepada kamu apa yang lebih baik daripada yang demikian, di sisi Tuhan mereka, bagi orang-orang yang bertakwa? Ialah syurga-syurga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan isteri-isteri yang suci, dan keridhaan dari Allah. Dan Allah melihat akan hamba-hambaNya." ( QS. Ali Imron : 14-15 )
More aboutPengabdian Seorang Istri

Di Kala Fajar Datang Dan Mentari Enggan Datang

Diposting oleh Unknown


Tenang dan kelam nya malam mulai bergulir seiring detik waktu yang tidak akan pernah berhenti. Peraduan binatang malam mulai terkikis habis terpojok oleh jatah waktu yang tinggal sepersekian, menunggu pergantian shift jaga tim selanjutnya. Kodok, jangkerik, kelelawar sudah besiap siap dan bergegas meninggalkan posnya berkemas menuju peristirahatanya. Alampun mulai berkemas dan bergegas, rembulan yang sebeitu teduhnya berasa gusar karena sang punya sinar akan segera datang menggantikannya. Ayam jagopun sebagai algojo waktu sudah bersiap berkoar memenggal kesunyian gelap malam menjadi terangnya pagi yang bergulir siang.
Namun hari itu terkesan semua diam, kodok jangkerik dan ayam pun terasa malas untuk menunaikan tugasnya. Mereka seakan ogah melihat sekitar yang tak sebegitu peduli sekarang. Teringat di kala cerita orang tua mereka, sebegitu semangat di kala sepertiga malam terakhir menjelang fajar. Mereka berasa tenang,sejuk dan damai di kala air pancuran mengalir membasuh manusia yang beriang hati di tengah kedinginan, membasuh kedua tangan berwudlu untuk sejenak bertemu dengan Tuhannya. Dengan senangnya dia bersiul bernyanyi saut menyaut satu dengan yang lain hanyut dalam kegembiraan dan ketengan hati hamba yang ingat Tuhannya.

Tumbuhan dan tanamanpun dengan senang hati berbasah ria berlinang embun air mata, terharu sebegitu taat dan mulianya umat manusia. Kegembiraan itu mengantarkan waktu bergulir tersas indah samapi adan subuh berkumandang nyaring menyusup di sampai sela sela relung kalbu.
Namun itu adalah cerita dulu, ketika orang tua jangkerik,kodok dan ayam masih sehat dan bugar melaksanakan tugasnya. Namun kini dikala tampuk regenerasi beralih tongak estafet, itu semua tinggal cerita. Tak ada lagi penyejuk hati, penenang pikiran. Hilang sudah suara siulan, nyanyian di malam hari karena keengganan, dan kemalasan mereka melihat sebegitu banyak kemajuan atau kemunduran dibalut kecanggihan yang ada. Tumbuhan pun sudah tak lagi meneteskan embun air matanya ,kini tersumbat oleh debu kecongkahan. Semua berubah dengan dalih modernisasi dan globalisasi ,dimana siang dan malam adalah sama. Sisi gelap dan terang tak lagi beda hanya samar kelabu yang mudah sekali untuk di singkap, alam merindukan ketenangan. Alam merindukan kekusyukan hambanya untuk kembali ke jalan dan putaran yang dulu pernah ada.

Dan kini fajarpun seakan pingin cepat berlalu menunaikan tugas dan titahnya karena sepi tak ada yang mau menemani namun mentaripun enggan bersinar karena sedih dan tak bersemangat melihat garis batas yang sebegitu samar. Maka kembalilah dan bergegaslah………………………..


oleh : Magoroku
More aboutDi Kala Fajar Datang Dan Mentari Enggan Datang

Ziarah

Diposting oleh Unknown on Jumat, 21 Juni 2013

cerpen Sanie B. Kuncoro (jawa pos, 11 april 2010 )

APAKAH yang akan kita temukan pada sebuah ziarah?
Pada masa kecilku dulu, nenek selalu mengunjungi beberapa makam pada sebuah bulan tertentu. Makam-makam itu terbuat dari batu granit berbentuk tapal kuda, dengan gundukan tanah berumput di bagian tengah. Bongpay, demikianlah bangunan makam itu disebut. Di bagian depan, semacam altar, terpasang batu nisan terbuat dari marmer dengan tulisan China. Berbaris menurun huruf China itu, tak kupahami satu huruf pun. Bagiku, huruf itu lebih serupa potongan garis yang tak lurus, melengkung indah dan saling bertautan membentuk kelompok-kelompok kecil, yang membariskan diri sedemikian rupa. Itulah huruf kanji.
“Merekalah leluhur kita, Mak Co dan Khong Co,” begitu nenek memperkenalkan dan membacakan nama itu satu per satu. Jemari keriputnya menelusuri tiap pahatan huruf, kadang disertai dengan getar yang samar serta suara yang tercekat lirih.
“Itu namaku,” katanya kemudian ketika sampai pada barisan huruf paling bawah. Huruf itu berwarna merah, sementara huruf lain berwarna emas.
“Mengapa huruf nenek berbeda warna?” tanyaku.
“Sebagai pertanda bahwa pemilik nama itu masih hidup. Nanti suatu kali, mereka akan mengubah warna namaku serupa yang lain, bila saatnya tiba,” jawab nenek dengan nada makin melembut di akhir kalimat.
Aku tak terlalu paham ketika itu. Usiaku masih dalam hitungan sebelah jari tangan dan belum terpahamkan dalam diriku makna yang tersimpan pada kalimat “bila saatnya tiba”. Bahwa penggalan kalimat itu merupakan metafora dari sebuah kematian. Tak pula kumiliki pengertian konsep kematian manusia. Kematian yang saat itu kutemukan adalah matinya nyamuk, semut, dan kecoak. Itu adalah pembinasaan yang kuinginkan karena kehadiran makhluk-makhluk itu sangat menggangguku. Gigitan nyamuk memunculkan bentol dan gatal pada kulitku, dan semut kerap mengerubungi permenku hingga membuat siapa pun tak hendak mengulum permen warna-warni itu lagi.
Kematian pertama yang kutangisi adalah ketika burung kenariku tergolek kaku di sangkarnya pada suatu pagi. Namun belum lama aku tersedu, ayah datang dengan kenari yang serupa di sangkar baru. Dan tangisku tak berlanjut.
Kenari baru itu mementahkan rasa kehilangan yang sempat mengaliriku oleh sebuah kematian. Maka, tak kupahami arti melirihnya suara nenek ketika mengatakan sebuah waktu yang akan tiba baginya.
Tradisi ritual ziarah itu selalu nenek lakukan pada suatu masa tertentu. Itu adalah yang disebut masa Cheng Beng, masa pada hari ke-9 di bulan ke-3 Saa Gwee pada perhitungan penanggalan China. Diyakini itu adalah suatu periode ketika penguasa langit membuka pintu alam lain di mana para arwah tinggal, sehingga arwah para leluhur bisa kembali ke bumi untuk bertemu kerabatnya yang masih hidup. Karena itulah ziarah kubur dilakukan pada bulan itu.
Oleh karena itu, nenek selalu membawa beberapa sajian tertentu, yang merupakan sajian kesukaan para mendiang. Sajian itu ditaruh pada beberapa mangkuk kecil, lengkap dengan sumpitnya dan diletakkan di depan batu nisan. Nenek kemudian menyalakan dupa dan melakukan sembahyang dengan gerakan hormat yang takzim. Sojah, begitulah gerak penghormatan itu dinamakan.
Lalu sesudah itu dinyalakan beberapa batang dupa untukku.
“Kau juga harus sembahyang, perkenalkan dirimu pada para leluhur kita,” katanya sembari mengarahkan tangan kecilku menggerakkan dupa. Itu adalah sebuah gerak berupa ayunan kecil mengarah ke atas.
“Mak Co dan Khong Co, ini aku datang,” bisik nenek memintaku untuk mengikuti ucapannya, “Berilah aku berkat, bantulah membuka pintu rezeki untukku.”
Kulakukan semua tuntunan itu walau sesungguhnya tidak kutemukan apa pun dalam ritual itu. Tidak kurasakan kesinambungan ingatan apalagi perasaan terhadap leluhur yang tertanam dalam makam-makam besar nan bersih bernisan batu marmer itu. Kutahu sosok mereka melalui foto-foto hitam putih yang telah pudar warna. Tak kurasakan keterkaitan perasaanku dengan mereka, melainkan kesinambungan garis darah semata.
Sesungguhnya, gerangan apa yang akan ditemukan dalam sebuah ziarah?
Kulakukan tradisi itu berulang-ulang tanpa kutemukan jawaban apa pun. Hingga pada suatu ketika. Itu adalah sesudah nenek tidak terbangun lagi dari tidurnya pada suatu pagi.
Nenek selalu mengatakan bahwa beliau akan berangkat pada suatu pagi. Baginya, itu adalah waktu keberangkatan yang terbaik. Mengapa? Karena ada tiga rezeki dalam sehari, yaitu rezeki sarapan, makan siang, dan makan malam. Dengan berangkat dini hari sebelum masa sarapan, maka artinya nenek meninggalkan seluruh keutuhan rezekinya pada pewarisnya. Tanpa merenggut satu bagian pun. Demikianlah filosofi waktu kematian yang diyakini nenek dan dipercayanya dengan sungguh-sungguh.
Aku menangis tersedu berhari-hari namun ayah tak juga membawa nenek yang “baru”, seperti saat dibawanya kenari baru penghenti tangisku. Lalu nama nenek di batu nisan leluhur itu berubah warna, bahkan kemudian nenek memiliki batu nisan marmernya sendiri dengan namaku ada di barisan paling bawah.
Lalu setiap kali bulan Ceng Beng tiba dan kulakukan ritual ziarah, maka yang kutemukan kemudian adalah jejak-jejak perjalanan pada sebuah masa silam. Seakan kulalui sebuah jalur perjalanan yang pernah kutelusuri pada suatu ketika, yang kuhafal setiap kelokan dan persimpangannya. Dan ketika kaki melangkah menjejaknya, maka setiap langkah menghadirkan kembali ingatan-ingatan yang berserak. Itu adalah ingatan tentang petuah yang dituturkan dengan lembut, tentang pijatan yang lunak pada kaki setiap malam menjelang tidur, tentang genggaman jemari yang menuntun. Jemari yang keriput namun menyimpan hangat yang tangguh. Jemari nenek.
Kemudian tahulah aku, itulah sesuatu yang bernama kenangan.
Kenangan yang setiap kali menempatkan aku pada suatu ketika pada sebuah masa yang telah silam dan hendak kujelajahi sampai pada sudut-sudut terjauhnya. Seakan-akan ingin kumiliki kembali masa itu, sebuah masa yang selalu membuatku ingin kembali menelusurinya. Namun waktu selamanya tidak pernah kembali, maka kemudian di situlah rinduku bermuara. Tentang hal-hal yang tak selesai, tentang kalimat yang tak terucap, tentang perasaan yang tak terungkap.
Maka, kemudian kutemukan tentang arti keberadaan seseorang. Bahwa sesungguhnya keberadaan itu lebih nyata, makin nampak justru ketika seseorang telah pergi. Lalu kerinduan itu mengaliriku, berbaur dengan kepedihan yang menikam. Begitu kuat aliran itu, membuatku sungguh ingin kembali pada sebuah masa, pada suatu ketika di masa lalu.
Setiap kali kulakukan ziarah, aku seakan tak ingin beranjak dari tempat itu. Mengusap nisan marmer, menelusuri lekuk huruf nama nenek, seakan serupa dengan menelusuri tonjolan urat pada jemarinya yang keriput. Kutemukan kembali rasa hangat yang menenangkan itu, meski tak termungkiri marmer itu dingin belaka. Tapi sungguh ada rasa yang entah dari mana datangnya, perasaan bahwa nenek sedang berada di sekitarku, entah pada sisi sebelah mana.
Dulu sekali, di masa kecilku, setiap kali aku harus buang air di tengah malam, maka nenek akan berjaga di depan pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Lalu dia akan bersenandung sembarang lagu, sekadar untuk meyakinkanku bahwa dia ada dan tidak meninggalkanku.
Rasa itulah yang setiap kali menghampiriku kini dalam setiap ziarahku kepadanya di bulan Cheng Beng. Semacam rasa ditenangkan kembali karena beliau berada di dekatku. Sungguhkah nenek benar-benar kembali menghampiriku? Ataukah itu sekadar romantisme jejak kenangan yang seakan ditelusuri ulang dalam sebuah ritual ziarah?
Kutemukan jawabannya pada suatu ketika.
“Pernahkan berpikir tentang siapakah di antara kita yang akan pergi terlebih dahulu?” tanyaku suatu ketika pada seseorang, yang kepadanyalah kusandarkan hatiku.
“Aku selalu ingin kita akan berangkat bersama,” jawab kekasihku dengan sepenuh keyakinan.
“Tidak banyak hal yang terwujud sesuai keinginan. Bahkan pasangan seabadi Romeo-Juliet pun harus bersimpang waktu.”
“Itu karena Shakespeare tahu bagaimana harus mengabadikan kesedihan pembacanya. Kenangan pembaca justru makin melekat ketika Romeo dan Juliet masing-masing harus mengalami tragedi kematian pasangannya. Romeo mengira Juliet sungguh mati dalam kematian sementaranya, dan Juliet melihat kematian Romeo yang sesungguhnya.”
“Berharap saja bahwa sang Pemilik Hidup tidak sedang ingin dramatisasi serupa itu saat memberangkatkan kita.”
“Aku hanya mau meninggalkan, bukan sebaliknya, maka aku akan berangkat terlebih dahulu,” kataku.
Kekasihku berpaling, seakan tak hendak mendengar perkataanku.
“Bila itu terjadi, apakah kau akan menziarahiku?” lagi, aku bertanya.
Kekasihku tidak menjawab, melainkan memelukku erat. Pelukan yang sedemikian erat, bahkan lebih dalam dari pelukan kuatnya saat memasukiku.
Seerat itu pula dekapannya ketika aku berangkat pada sebuah pagi. Itu adalah sebuah hari yang begitu muda, ketika kabut masih melayang di depan pintu dan embun pagi belum mengering dari helai dedaunan.
Namun penjemput itu telah menyambangiku, bahkan tanpa memberi kesempatan untuk mengucapkan salam pamit.
Apakah aku sungguh ingin berangkat? Entahlah, pelukan kekasihku masih menghangatkan dan menenteramkan dan pula masih kuinginkan. Namun ketika sang penjemput itu tiba, nyatalah bahwa tak lagi kumiliki hak pilih, apalagi kemampuan untuk menghindar meski hanya penundaan, maka berangkatlah aku.
***
Kutemukan jawaban dari semua ziarahku.
Kekasihku datang. Dibawanya beberapa kuntum melati gambir, agaknya ingin disuntingkannya bunga itu di telingaku, seperti yang kerap kali dilakukannya.
Kusambut dia sepenuh hati, kujemput langkahnya sejak di awal gerbang. Kurebahkan diri pada punggungnya saat dia duduk di samping bongpay. Ah, mengapa tak kudapatkan kehangatan tubuh yang dahulu merambati punggung itu? Kupeluk punggung itu, kucari-cari denyutnya yang tersimpan di dataran itu. Ingin kuhirup alunan napas, yang dahulu pernah kupunya.
Lalu datang ingatan itu, tentang suatu ketika saat kami berbagi denyut dan napas yang sama. Denyut yang terbagi saat mendaki sesuatu, melalui suwung yang magis saat saling memasuki. Napas yang sama dalam ketunggalan, siapa berada di antara siapa? Apakah aku di dalammu, ataukah kau di dalam aku?
Aku terbawa dalam pusaran. Pusaran itu mengalirkanku pada suatu arus. Arus segala masa saat aku bersama seseorang. Diri kekasihku di dalam arus itu, bersama kami dalam pusaran itu, berputar serupa spiral. Berpeluk erat aku padanya, bersandar penuh karena begitu kuat pusaran itu mengayun dan menggerus.
Ada yang memudar kemudian. Dirimu kekasih atau justru aku sendiri?
Kekasihku beranjak, terlepas dari dekapanku. Aku terhuyung berpegang pada pelukan yang goyah.
“Jangan pergi,” seruku menghadang langkah menjauhnya, “Bahkan melati gambir itu belum kau sematkan di rambutku.”
Langkahnya tak terhenti. Aku memburu, gerakku bergegas serupa melayang.
Dia berhenti sesaat, menengok ke belakang seakan mencari sesuatu. Terhela napasnya kemudian saat yang ditemukannya kekosongan belaka. Matanya nanar mendapati melati gambir bergeming tak terjamah.
“Kembalilah padaku,” aku memohon, bergema permintaanku, terpantul dari helai daun-daun yang gugur melayang. Sampaikah salah satu pantulan itu padamu?
Di kejauhan, sehelai daun menjatuhi pundaknya. Bergulir, kemudian rebah di ujung kaki berbalut sepatu.
Lagi aku akan memanggil, kucari daun gugur melayang. Namun gelengan kepala nenek, serupa larangan tak terbantah.
“Mengapa?” tanyaku.
“Pusaran masamu dengannya telah selesai. Dirimu kini telah menepi dari putaran, sementara dia akan meneruskan sejarahnya sendiri.”
“Tapi padanya kutemukan denyut nadi dan napas yang pernah kupunya.”
“Itulah ruang kosong saat sejarah bersimpang jalan. Tertemukan saat ziarah, meski tidak selalu.”
Itulah jawab dari semua ziarahku.
Adalah tidak kurasakan apa pun pada ziarah Mak Co dan Khong Co, sementara ada yang tertinggal saat usai menziarahi nenek. Adalah karena tak kumiliki persilangan sejarah ataupun pertemuan masa diriku dengan mereka, seperti yang terpahat dalam sejarah waktuku bersama nenek.
Inilah yang ada padaku sekarang. Aku melintas dalam masa pinjaman di dalam hati kekasihku. Aku melayang, rebah di dalam benaknya sesaat lalu pada sebuah ziarah.
Kekasihku memutar tubuh, melanjutkan langkah menjauhnya. Meninggalkan sehelai daun di ujung kaki rebah terabaikan. Mataku terpejam menelusuri kehilanganku, sejauh lorong labirin setengah kekal.
“Ada suatu ketika sejarah bersama itu akan kembali,” nenek berbisik, lirih menyerupai desir angin yang melata di antara alang-alang, “Suatu ketika, meski mungkin tak lagi utuh bahkan terperangkap keasingan yang sayup.”
Namun, akankah aku rebah selamanya di dalam benak kekasihku sebagai penghuni tunggal, sama seperti kuhuni ruang hati nenek?
Kusimpan pertanyaan itu. Barangkali akan kutemukan jawabannya pada ziarah selanjutnya.
Tapi Kekasih, akankah selalu tersedia ziarahmu bagiku?
Serupa jemputan nenek di awal keberangkatanku? (*)


Sanie B. Kuncoro, cerpenis yang tinggal di Solo.
More aboutZiarah

Karna Aku Maria

Diposting oleh Unknown


Cerpen,Ana Balqis (jawa pos, 25 juli 2010)


DIALAH perempuan itu. Tidak segan mengaku Jawa meski lama di kota-kota sebesar Paris atau Kanada atau Jepun. Kerap terbang mengelilingi dunia bersama berus dan kanvasnya.
Sejak mengenalnya, banyak waktu saya mengintai ke dalam mata hitam pekatnya. Kata gemulah nenda, lihatlah ke dalam mata lawanmu beserta selawat tiga kali pabila berkata-kata dengannya. Kelak kau dapat melihat kebenaran kerana yang ada dalam hatinya akan terpancar di mata.
“Kamu bisa bicara apa saja denganku tapi bukan soal laki-laki,” tutur Maria. Saya lalu sambut peringatannya dengan kata, “Itu bahasa orang kecewa.”
“Aku?” Dia mencebir bibir bersekali dengan bahunya yang tergerak ke atas kemudian melanjutkan bicara, “Tiada apa istimewanya makhluk itu.”
“Kau jujur?”
Maria bangkit dari sofa di ruang tamunya dan sebentar berlenggang ke dapur. Sebenarnya waktu itu saya mahu katakan begini, “Kau sudah pada khatam tentang lelaki, ya.” Tetapi, saya tidak menyebutnya sampai kini.
Maria keluar dengan dua mug oren segar di tangan. Satu dihulurkan ke saya. Di sofa empuk berona biru pastel di depan saya, dia menghirup oren segar di tangan kanan. Saya pandang Maria. Pipi mulusnya mengingatkan saya kepada Ayu Syafiqah, anak kakak yang baru setahun itu. Tetapi bayangan itu cepat pula hilang diganggu wajah Agung.
“Kamu mahu tahu pasal laki-laki yang selalu mengekormu tatkala kamu ke sini itu, kan?”
Saya coba menafi dengan mencebir bibir. Giliran Maria senyum sambil menerus kata, “Agung itu pacar Mela….”
Agung. Mela. Agung. Terlayang berjurus-jurus waktu fikiran saya. Waktu itu kami di Bandara Juanda, saya mahu pulang ke Kuala Lumpur sesudah melawat Maria seminggu. Mela memberi tahu dengan bibir mungil dan selalu berwarna merah jambu itu; Agung suka saya. Sambut saya, sepatutnya dia berapat dengan Agung. Dia juga bilang masih mahu keliling dunia.
Saya juga suka mengembara. Pun dalam masa yang sama, harus bijak mengatur waktu untuk menentukan usaha ayah tidak hancur separuh jalan. Batik dan songket mesti kekal, itu kata ayah. Saya sependapat dengan ayah. Tradisi penyambung nasab. Itu juga kata ayah dan saya menyetujui. Makanya kini saya berpenghasilan dengan mengusahakan batik dan songket peninggalan gemulah ayah.
“Ngelamun…ngelamun.” Suara Maria menerjah telinga. Sedikit terkejut saya –rupanya ingatan sudah kepalang kelananya. Entah di mana Mela, di mana Agung. Yang ada saya dan Maria.
“Agung itu bila suka sama perempuan, Mela jadi badut. Dungu.”
“Mela dungu?”
“Jadi badut untuk pacar sendiri… itu pintar?”
Mela? Kami berkawan sejak dia masih menggunakan nama Ramelah binti Ismail. Sejak masih anak-anak. Sejak dia belum meleburkan hitam di rambut dan di mata. Sebelum dia faham makna globe di atas tanah. Dari dia belum bergelar pramugari.
“Laki-laki nggak pernah puas,” sambung Maria seolah-olah memujuk. Saya berkisar duduk. Air di mug tampak bergelombang. Sebesar gelombang di Pantai Sabak—depan rumah saya di Kelantan. Saya lepaskan pandangan keluar jendela. Angkut kota dan spedamotor berlari laju di jalan.
Ketika saya kembalikan sorot mata ke Maria di depan, saya mengatakan ke hati; perempuan juga bertanggung jawab menyebabkan lelaki begitu. Dalam kasus Mela misalnya.
“Kamu jatuh kasih sama Agung?” Alih-alih soalan itu saya dengar berkelintar di ruang tamu rumah Maria yang terhias rapi mengikut rasa seninya. Saya tidak menjawab kerana pada masa itu saya ternampak-nampak Agung, jurutera kapal terbang yang beribu pejabat berhampiran menara Eiffel yang juga anak pe­gawai tinggi kedutaan Indonesia di Paris itu.
Tahun sudah kami kenal dalam rangka saya menggantikan Mela ke Paris yang mendapat pakej percuma dari sebuah agensi pelancongan. Sedang pada masa itu Mela ada tugas.
Di lapangan terbang, saya dijemput Maria—artis yang baru selesai mengadakan pameran solo di kedutaan negaranya di Paris. Itulah pintu persahabatan kami. Dan, Maria kemudian kenalkan saya kepada Agung.
“Laki-laki cuma hidup untuk jalani takdir. Mereka pelupa. Penakut,” tutur Maria. Kadang-kadang seperti berbicara kepada saya dan ada ketikanya pula seperti dia bercakap kepada malaikat di sebelahnya.
“Apa?”
“Laki-laki hanya bisa diakrabi di ranjang,” sambung Maria acuh tidak acuh. Sebentar senyum dan sebentar pula ketawa. Mug di meja kecil di sisinya dipusing-pusing.
Saya seperti melihat teater. Bagaikan mengerti saya sudah selesai menafsir tawanya, Maria meneruskan bicara, “Dari situlah aku kenal mereka.”
Saya tenung muka Maria. Barangkali mata saya ketika itu entah bagaimana bulatnya menyebabkan dia angguk dan cepat pula menambah, “tapi aku masih aku seperti dilahirkan. Demi Tuhan!”
Maria percaya Tuhan?
Saya mahu biarkan omelannya. Saya alih sorot mata ke surat kabar yang memuat berita rusuhan di Bangkok. Anak mata saya bergerak dari satu foto ke satu yang lain. Tiba-tiba pula teringat kata Agung, zahir itu menefestasi jiwa. Damai jiwa dunia aman.
Seorang temannya lain mencela, rusuhan itu gambaran jiwa rakyat kecil yang ditindas. Peristiwa Bali sebagai misal. Itu gelodak dendam. Dendam agama. Dendam perkauman. Dendam status ekonomi, dan pelmacam dendam lain. Pokok pangkalnya, dendam. Waktu itu kami sedang makan-makan di salah satu stall di Sogo, Surabaya.
“Ya… maksudku laki-laki bercerita apa saja di ranjang. Kalau pintar, sejuta kisah bisa digali. Dari lenguh badan atau uban di kepala terus hal-hal yang bisa gegar dunia.”
Aduh!
“Mereka itu yang berstatus atau biasa-biasa, semuanya sama. Dalam kepala cuma ada kita, perempuan. Lalu bagaimana mereka bisa jadi pemimpin tip-top?”
Saya tidak terus menjawab, sebaliknya berkeluh dua tiga kali kemudian terfikir untuk berkata begini, “Kau prajudis, Maria. Masih banyak hal penting yang mereka kerjakan,” tetapi belum sempat saya melepaskan kata-kata itu di bibir Maria bersuara, “Jangan terlalu jadi pendamping. Coba jadi pesaing. Kamu wajar renungi realitas. Dalam kepimpinan, sama ada peringkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, wilayah atau negara…. Siapa mutlak memimpin?”
“Tengoklah siapa yang diangkat sebagai ketua,” balas saya sambil bangun dari sofa dan melakukan sedikit gerak ringkas dengan mata yang terhala ke luar jendela. Gerak di aspal di depan rumahnya masih menyala.
“Uuuuu… cara fikirmu itu jujur sekali Dijah, Sayang….”
Saya senyum. Rasa dipersendakan. Malu pun ada. Tetapi tertanya-tanya ke diri, salahkah jujur? Tiba-tiba Maria menyambung, “Aku pernah diminta temani satu tokoh negara ke sidang antarabangsa di Paris kerana tokoh itu tidak fasih France. Jadi translator. Malamnya, dia bercerita segala. Dan, aku bisa datang padanya bila-bila waktu. Akhirnya… galeriku siap.”
“Untuk apa kamu cerita ini?”soalku sebal (klise tentunya).
“Supaya kamu tahu, pemimpin paling benar… wanita!”
Saya terkedu. Bagaimana jika orang labelkan Maria feminis lapuk? Atau antilelaki. Antitabie. Atau anti-Tuhan? Sejurusnya dia berlenggok lagi ke dapur dan keluar dengan sekotak biskut berserat. Maria kembali ke sofa di depan saya. Dia kemudian menyoal saya yang saya jawab begini, “Aku pedagang. Tak perlu seberani sebilangan wargamu yang dengan tanpa ragu merenggut nyawa manusia lain di Kuta itu. Aku hatta menghidupkan seekor semut juga tak mampu.”
***
Dan, suatu senja lain. Senja yang tinggal dua hari lagi saya di Ketintang Timur. Di belakang kediaman Maria yang berdanau binaan itu, kami duduk-duduk. Teringat kata Maria sebelumnya, kediaman itu tempatnya mendamai resah panjang yang dibawanya dari serata ceruk perjalanan. Rumah sederhana yang memuatkan sebuah studio dan galeri pribadi itu tempat dia mendengar ketingan senduk penjual tahu tek atau penjaja bakso yang seakan-akan telah menyebati dengan tanahnya.
Matahari di hujung langit sedang melambai kaki danau di barat.
“Aku cuma pingin tahu, sejauh mana mereka berawasan,” sambung Maria. Saya membalas lemas, “Itu percaturan.”
“Dan, aku menang,” tukasnya jelas. “Dan, kamu gila!” balas saya total.
“Aku terima apa saja anggapanmu, malah anggapan seluruh perempuan dari serata alam. Aku nggak pernah takut, malah sudah dapat konklusi paling tepat mengenai laki-laki.”
“Ya, kalau memang kamu gila, apa guna penafian,” balas saya dalam logat Jakarta. Dan, saya memaksudkan kata-kata itu.
“Kamu percaya cinta?” Maria bertanya polos. Soalan yang agak menyimpang dari tajuk perbualan tetapi bahu dan kening saya sepadu tergerak.
“Jawablah dengan yakin. Kamu bukan subyek ujikajiku, Dijah.”
Saya menjeling Maria selintas. Dia lebarkan senyum dan angguk. Matanya menanti jawaban. Saya menggeleng tetapi akhirnya terpacul kata, “…tapi aku masih berharap Tuhan hadirkan mereka sebagai ayah kepada anak-anak halal untukku walaupun aku tahu, wujud itu bukan sifat manusia.”
Maria senyum dan mengangkat ibu jarinya lantas melampir kata, “Kamu pintar dan sadar sifat Tuhanmu.”
“Tapi kau tidak percaya Tuhan.”
“Aku nggak percaya cinta. Di mana-mana kita dimomokkan oleh fantasi mereka. Kamu tahu fantasi laki-laki tentang wanita?”
Saya bingkas dari bangku. Kelihatan beberapa ekor bebek di bawah jembatan kayu yang dibina merentasi danau itu sudah mulai menuju daratan, lalu saya menganjurkan, “Yuk masuk. Sia-sia bicara soal begini. Cerita tentang anak-anak hilang ibu ayah di Kuta lagi manusiawi.”
“Jangan selimuti kebenaran dengan dongeng. Sudah sekian waktu wanita dianiaya. Di Kuta atau di pedalaman Sarawak, negaramu itu. Di bumi Inggeris atau di Plestina atau di tepian Sungai Ganga.”
“Wanita yang aniaya diri mereka… malas aku!”
“Dengar sini, Nona Manis,” usul Maria sambil mencuit bahu saya. Ketika itu dia benar-benar berada di depan saya—menghadang.
“Keinginan laki-laki nggak terbatas. Dan dari bermiliar keinginan itu, sembilan puluh sembilan miliarnya adalah fantasi mereka tentang kita. Selebihnya, barulah kuasa dan harta.”
Tentang kita?
Nggak percaya?” desak Maria dengan soal. Saya masih diam—asebenarnya terkejut dengan persentasi yang disebut Maria.
“Barangkali kamu cuma sinonimkan lelaki dengan segala cerita ganas. Perang dan kuasa,” tebak saya kerana selalu sedar posisi wanita dalam agama.
“Kamu mau katakan kita ini berawal dari nasab yang satu, Adam. Begitu? Tapi barangkali kamu lupa, justeru wanita itu sudah hampir sempurna maka Tuhan ciptakan laki-laki sebagai pemimpin. Jika wanita diberi hak memimpin, tiada guna lagi kehadiran laki-laki di muka dunia ini.”
Saya angkat kening lama. Serasa-rasa nafas jadi pendek.
“Memang Tuhan mencipta laki-laki lebih dulu tapi yang tercipta tanpa ibu cuma Adam.”
“Ayuh kita masuk. Sebentar lagi magrib.”
“Kamu bilang mahu habiskan liburmu, mahu nikmati senja di Surabaya sama aku. Mungkin ini kali akhir kamu dengar ceritaku. Kenyataan bukan mimpi tapi mimpi mungkin jadi kenyataan. Itu dua situasi berbeda, Manis.”
Diam.
“Siapa pun pemimpin laki-laki yang kamu bariskan, segagah atau seteguh mana peribadi laki-laki itu, rumah pertamanya adalah kantung rahim seorang wanita.”
Saya pandang muka Maria. Feminis!
“Kamu tahu apa fantasi laki-laki?” Belum sempat saya bereaksi, Maria menambah, “Meniduri wanita yang berbeda pada setiap malam.”
Saya memejam. Aduh….
“Maria ayahmu….”
“Laki-laki. Adikku, bahkan dua eyangku juga. Jauh terdahulu dari itu ada kerabat laki-laki yang jadi penasabku.”
Saya diam sambil tenung muka Maria. Kaki terasa pegun dari langkah.
“Kamu prihatin. Sentimental. Terserah mahu bereaksi kayak apa tentang laki-laki tetapi kamu harus tahu ini. Kuta barangkali nggak hancur jika Micheal Lord, anak supir dari Negeri Kangaru itu nggak tiduri Yanti.”
Dongeng apa ini?
“Dan, tatkala Dewi kakak si Yanti, mistress kepada si laknat Micheal itu meraung marah, Micheal pura-pura menyesal.”
Saya terpana mendengar.
“Suatu malam Micheal membekalkan bom pada telepon tangan Dewi ketika mengajak perempuan itu ke bar dan kemudian, si laknat itu pulang ke hotel. Dari jauh laknat itu menekan suis jangka dan semuanya hancur.”
Dalam kepala teringat berita yang pernah saya lihat.
“Tapi koranmu?”
“Khadijah, itu gara-gara kemahuan nggak terbatas laki-laki. Miliki dua perempuan senasab sekaligus. Tapi, itu tidak bisa kamu baca di mana-mana.”
“Jadi, kau tahu?”
“Micheal pernah sekamar denganku. Tika sarafnya kubius dengan wiski, dia bercerita. Kemudian dia bunuh Yanti dengan cara sama, nggak lama sesudah itu.”
Aku memejam. Kelam rasanya alam. Tuhan!
“Dulu, aku juga kayak kamu.”
Sayu nada suara Maria. Stand lukisan di­rapatkan. Kanvas yang masih putih dihulurkan kepada saya. Dengan tangan bergetar dari hati sebal, saya sambutnya.
Diam.
“Justeru dari rasa pingin tahu itulah aku nekad kenal laki-laki. Mereka teruji oleh wanita, kuasa, dan uang. Jadi, apa guna aku hadir di muka dunia ini jika nggak manfaatkan kesempurnaan diri untuk tujuan indah-indah.”
Astaghfirullah!
Apakah sudah sebobrok itu jiwa mereka? Ke mana hilangnya semangat bambu runcing yang pernah menjadi senjata jihad moyang mereka membebaskan leluhurnya dari cengkeraman Belanda? Atau apakah semangat bambu runcing itu yang menukar dia jadi begitu?
Saya mengintai matahari di kaki senja.
“Khadijah, tika usiaku sepuluh, eyang sebelah papa coba cabul kehormatanku. Nggak lama setelah itu, papa. Kemudian lagi, dua saudara laki-lakiku. Tapi semua bisa kuhindar.”
Serentak tuturnya yang sadis tetapi pedih itu, sukma saya disimbah belas. Ketar hati saya. Calar balar kalbu saya. Tidak tertelan rasanya liur di rongkongan. Tidak jua terludah.
“Bila bersisi dengan pacar, kamu cuma mau perlindungan, kan? Kamu nggak pernah niat leburkan keperawanan untuk siapa pun kecuali suamimu, benar?”
Saya angguk perlahan. Terasa keinginan itu syahdu.
“Bagi laki-laki nikah itu beban berat, sedang wanita idami syurga dari gelar isteri. Nah, kamu nampak perbedaan itu? Satu lagi, mereka bukan sekadar impikan wanita yang berbeda setiap malam tetapi juga bercerita kepada sobat-sobat, lagi-lagi jika wanita itu orang tenar. Bangga mereka andai wanita itu bisa dibawa berlibur apalagi jika mampu diajak ke kamar.”
Saya mengeluh. Dalam.
“Jika wanita berbuat ulah, mereka sedaya mungkin menutup kisah.”
“Dan kau?”
Maria senyum sebelum menyambung dalam notasi yang lain, “Khadijah, kamu akan kalah jika masih menyimpan harap begitu.”
“Aku ada doa.”
“Laki-laki yang mau sempurnakan fitrah mereka dalam makna tulen amat kecil persennya. Padahal tanggung jawab itu tangga ke maqam ulul, bukan?”
Dada saya diusik getar. Benarkah Maria yang bersuara itu?
Selesai menunaikan salat isyak, saya berpaling menghadap Maria di katil dan bersuara kering, “Kamu bilang masih, padahal kamu kerap seranjang dengan mereka. Bagaimana tu?”
Maria ketawa kecil dan manis tetapi pedu.
“Karna aku Maria!”
***
Suatu siang Maria bersuara khusyuk, “Khadijah, sudah kukenal sekian laki-laki dan mau menambah fakta konklusiku. Aku faham, manusia itu tercipta dalam rupa laki-laki dan perempuan. Justeru sebagai manusia nggak wajar aku coba jadi Tuhan.”
***
Semalam saya terima sekeping poskad dari Baitullah dengan catatan di dadanya, “Moga Allah selalu memberkatimu, Khadijah manis. Temanmu…. Mariam.”
Mariam?
***
Tadi, saya mengambil panggilan daripada Agung, “Sahabatmu sudah tiada.”
“Sahabatku? Siapa sahabatku?”
“Dia meninggal dalam salat di Masjid Nabawi.”
“Mela?”
“Maria alias Mariam.”
Otak terputar ke detik tanpa waktu khusus. Jantung terasa diam dari detak. Darah terhenti bernafas. Kesal memanak datang. Entah kesal kepada apa. Rongkongan didesah sebak. Poskad dari Baitullah melayang ke mata. Ke hati. Ke mana-mana.
Kesasar.
Allah…. Mariaaaaaaaa….
Innalillah wainnailaihi rajiunnnnn…. (*)


Glosari
  1. Gemulah nenda = arwah
  2. Berlenggang = berjalan santai
  3. Mencerlung = mencelik mata membayangkan rasa tidak puas hati
  4. Cedas = cepat
  5. Tip-top = teratas/hebat/ besar
  6. Nasab = keturunan
  7. Maqam ulul = darjat mulia dalam agama (selepas mati)
  8. Pedu = pahit
More aboutKarna Aku Maria

Di Persimpangan di Perbatasan

Diposting oleh Unknown

Cerpen,Satmoko Budi Santoso ( suara merdeka, 17 maret 2013 )

Di Persimpangan di Perbatasan ilustrasi Putut Wahyu Widodo

SETIAP ada persimpangan jalan, orang Jawa bisa menyebutnya pertigaan, perempatan, atau perlimaan, sesuai berapa simpangan atau silangan jalan yang ada, saya berhenti cukup lama. Saya bisa berhenti cukup lama karena ke mana-mana saya memang hanya memilih mengendarai sepeda. Dengan begitu, ketika pas lampu pengatur jalan menunjukkan hijau, misalnya, saya justru bisa malah berhenti. Sebab karena bersepeda, posisi saya toh hanya di pinggiran jalan. Tentu, kebiasaan semacam itu akan cukup sulit saya lakukan jika saya mengendarai mobil. Sebenarnya, saya mampu memiliki mobil atau motor. Tetapi, sudah cukup lama kebiasaan saya pergi ke mana-mana memanglah hanya bersepeda. Boleh dikata, sudah puluhan tahun.
Sejumlah orang cukup hapal kebiasaan saya berhenti di persimpangan jalan tertentu. Sebab, persimpangan-persimpangan jalan dari dan menuju ke arah rumah saya juga hanya itu-itu saja. Oleh sebab itu, terhadap orang-orang yang biasa mangkal di setiap persimpangan jalan yang saya lalui, saya selalu menyapa mereka. Tentu, mereka jugalah orang yang paling tahu kebiasaan saya berhenti cukup lama di setiap persimpangan jalan itu.
Jika sudah berhenti di sebuah persimpangan jalan, misalnya, beberapa orang pemerhati saya akan melihat saya dengan saksama. Terserah kemauan saya kapan akan jalan lagi. Bisa dalam hitungan tiga menit ketika saya berhenti itu, bisa malah lima menit, namun biasanya tidak akan lebih dari 10 menit. Meskipun posisi saya berhenti berada di pinggiran jalan, namun karena posisi berhenti saya sering dekat dengan lampu lalu lintas pengatur jalan, ada saja kendaraan entah motor atau mobil yang terganggu. Membunyikan klakson. Ada juga pengendara motor atau mobil yang pernah menghujat. Padahal, saya tahu diri, posisi saya berhenti kiranya tidaklah mengganggu perjalanan. Hanya sekadar berhenti di pinggiran jalan saja, tidak begitu mempedulikan apakah lampu sudah menyala hijau, bagi pesepeda seperti saya, apakah sebuah kesalahan yang berarti?
Jika ada yang sesekali menghujat, meneriaki dengan umpatan, maka saya memilih membalas hujatannya di dalam hati. Tentu, tak seorang pun tahu. Maka, kelihatannya, saya cuma diam saja. Sebegitu jauh saya suka berhenti, bisa lumayan lama di persimpangan jalan tertentu, selama ratusan bahkan mungkin sudah ribuan kali saya tak pernah menghitung secara pasti, tak ada seorang pun yang pernah menanyakan maksud kepada saya: kenapa suka berhenti itu. Bagi mereka, orang-orang yang suka nongkrong tak begitu jauh dari perempatan rumah saya, misalnya, juga belum pernah ada satu pun yang menanyakan. Di dalam hati saya, kerap saya memvonis sendiri, biarlah mereka menganggap saya gila atau setidaknya memang kurang waras. Itu hak mereka jika pun menganggap begitu. Saya tak bisa apa-apa. Tentu saja.

***

KEBIASAAN saya berhenti di persimpangan jalan itu rupanya bisa saja tidak bernilai sebagai misteri bagi orang lain yang tahu perihal kebiasaan saya itu. Memang, saya merasakan satu kepuasan tersendiri jika sudah berhenti di persimpangan jalan tertentu. Salah satu bentuk kepuasan saya adalah sepertinya saya telah bertemu kembali dengan kakak saya, sepertinya ada kakak saya yang sedang melintas di persimpangan jalan tertentu itu, tepat ketika saya akan melewatinya. Kakak saya satu-satunya, yang sebagai pejalan kaki, sudah lama meninggal ditabrak mobil dengan pengendara yang sedang mabuk di sebuah persimpangan jalan. Padahal ia cuma menyeberang jalan biasa saja di persimpangan jalan itu, sehabis membeli rokok di sebuah toko.
Jika bukan bayangan kakak saya yang melintas ketika saya akan melewati persimpangan jalan, adalah bayangan ibu saya, yang juga meninggal karena alasan adanya persimpangan jalan. Apa mau dikata, kebiasaan ibu saya sebagai orang yang tidak waras, jalan-jalan sesuka hati sepeninggal ayah saya di penjara karena terlibat kasus korupsi besar, membuat ibu saya itu suatu hari harus menyeberang di sebuah persimpangan jalan. Sebagaimana kebiasaannya melambaikan tangan kepada siapa saja ketika berjalan, sebagai salah satu bentuk kekurangwarasannya, ternyata lambaian tangannya ketika menyeberang itu justru seperti lambaian tangan terakhir dalam menyambut kematian yang dikirim oleh seorang pemuda yang sedang melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak berhenti meskipun lampu pengatur lalu lintas nyala merah dan akhirnya menabrak ibuku hingga tiada. Belakangan kemudian diketahui, ternyata mobil yang dikendarai remnya mendadak blong dan si sopir sama sekali tidak dalam keadaan mabuk.
Oleh karena itu, ingatan perihal persimpangan adalah ingatan perihal pilu dan nestapa. Semestinya begitu, bukan? Namun, bagi saya, jika ingatan perihal kesedihan itu sudah selesai melintas ketika diri saya berhenti sejenak atau cukup lama di persimpangan jalan tertentu, kenapa juga bisa segera berganti dengan kuluman senyuman ringan? Apakah saya juga telah menjadi orang yang kurang waras? Bagaimanapun, setelah berhenti, saya harus melanjutkan perjalanan lagi. Sudah menjadi kebiasaan saya pula, jika sudah bersepeda pasti akan merasa riang. Pilu dan nestapa, rupanya hanya meminta izin sementara saja, untuk berkelebat di dalam keseluruhan perjalanan hari-hari saya ketika berada di persimpangan jalan tertentu itu….

***

SENSASI yang sama dengan yang kurasakan ketika berhenti di persimpangan adalah ketika berada di perbatasan.
Di masa muda, saya selalu suka bepergian jauh. Tentu bersepeda. Bisa ke gunung, melintasi sungai dan sawah, pokoknya kegiatan jelajah alam adalah hal yang saya suka. Sungguh, saya merasakan senang tak terkira ketika sudah sampai di perbatasan tertentu. Perbatasan apa saja. Desa, kota, provinsi, bahkan negara. Jika sudah sampai di perbatasan tersebut, sepertinya perjalanan yang dilakukan sudah di ujung lunas. Maka, kepuasan pun muncul, merayap di sekujur tubuh dengan sendirinya, serupa orgasme. Foto-foto dengan penduduk di sekitar perbatasan, ngobrol dengan mereka, baik yang berseberangan atau tidak dengan perbatasan itu, adalah hal yang paling saya senangi. Memandangi binar sorot mereka, semangat mereka hidup di perbatasan, sepertinya tak bisa ditandingi oleh orang kota yang sudah terfasilitasi kemudahan secara apa pun. Uniknya, banyak di antara mereka yang sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk pindah dari perbatasan….
Banyak pula kelucuan yang pernah saya jumpai ketika di perbatasan itu. Misalnya, perihal orang-orang yang ber-KTP ganda. Suatu ketika, saya sampai pada sebuah perbatasan antarnegara. Negaraku dengan negara tetangga. Orang-orang di sebuah perbatasan antarkedua negara itu ternyata ada yang mempunyai KTP ganda. Warga yang sama kewarganegaraannya denganku bisa pula punya KTP negara tetangga. Begitu sebaliknya.
Orang-orang di perbatasan adalah juga orang-orang yang identik sebagai saksi atas banyaknya penyelewengan. Mulai dari penjualan kayu secara ilegal, hewan secara ilegal, dan banyak lagi lainnya. Tersebutlah seseorang yang bernama Maro, entah nama asli entah bukan, adalah orang yang sering melihat bagaimana kayu-kayu dengan mudah keluar masuk perbatasan. Tentu saja yang penjagaannya relatif tidak ketat. Penjaganya memang belum tentu tahu atau pura-pura tidak tahu. Entahlah. Karena warga dua negara yang berdekatan bisa keluar-masuk untuk kepentingan tertentu, entah sekadar bertamu, saling berbagi makanan, dan sebagainya. Ibarat bahwa mereka adalah bertetangga rumah biasa. Tentu saja, tindakan semacam itu bisa dianggap menyalahi aturan, tidak dibenarkan, namun apa mau dikata, jika sudah ada di perbatasan, sejumlah aturan belum tentu bisa berlaku sesuai yang menjadi ketetapan.
Kebetulan, saya pernah cukup lama, sekitar lima hari, tinggal di daerah perbatasan. Mendirikan tenda sendiri, berbaur dengan orang-orang di perbatasan. Mendengarkan siaran radio, membantu menyiapkan makanan baik berburu hewan atau sayur tertentu untuk lauk, membakarnya setiap malam sembari menyalakan api unggun, dan kegiatan lainnya. Dalam pelancongan bersepeda menuju ke perbatasan atau ke mana pun itu, dulu di masa saya muda biasanya ditemani satu orang saja. Bisa laki-laki bisa perempuan. Harta kekayaan orang tua saya, tepatnya ayah saya yang mantan koruptor, boleh dikata cenderung habis untuk kebutuhan jalan-jalan bersepeda saya. Menjelajah ke mana-mana.
Di tempat-tempat tertentu, jika di dalam perjalanan bersepeda saya mendengarkan suara lonceng, entah dari gereja entah dari rumah penduduk sebagai suatu pertanda tertentu, saya merasakannya begitu magis. Seperti menggaungkan masa silam dan masa depan secara bersamaan, tergerus dalam kayuhan sepeda. Biasanya, jika mendengar lonceng entah dari mana arah datangnya, saya kemudian berhenti bersepeda. Ya, berhenti saja. Hanya ingin mendengarkan suara lonceng itu baik-baik. Seperti mengabarkan bahwa dunia sebenarnya bisa selalu baik-baik saja.
Tentu, di dalam setiap perjalanan saya tidaklah lancar-lancar saja. Ada banyak masalah yang pernah saya temui. Misalnya, yang berkaitan dengan perampasan barang. Saya pernah lebih dari satu kali diberhentikan oleh sekelompok pemuda di suatu tempat. Saya tahu bahwa ada barang saya atau barang teman seperjalanan saya yang akan dirampas. Maka, sebelum terjadi kekerasan saya katakan kepada orang yang memberhentikan itu agar mengambil saja barang-barang kami, selain sepeda. Oleh sebab itu, saya pernah berikan kamera saku saya, uang saya, dan beberapa barang bawaan lain, asalkan bukan sepeda. Ternyata, kompromi semacam itu cukup manjur bagi para perampok jalanan yang mungkin juga hanya iseng karena keterdesakan atas kebutuhan tertentu. Mungkin di antara mereka cuma perlu untuk membeli arak. Artinya, dalam banyak pengalaman perampasan barang yang pernah saya temui sepanjang perjalanan itu, yang merampas sepertinya bukanlah tipe orang yang merampok sebagai profesi.

***

SAMPAI kini saya berusia uzur dan ke mana-mana tetap naik sepeda, kenangan perihal perbatasan itu justru semakin menebal di otak, tak sedikit pun mengelupas. Jika kini saya pun mengabadikan kenangan di sejumlah perbatasan itu dengan cara berhenti di sejumlah persimpangan jalan di kota saya dengan cara sengaja mengingatnya meski sebentar, tentu itu adalah konsekuensi hidup yang wajar. Setiap orang punya cara untuk tidak menghilangkan kenangan di dalam dirinya, entah baik entah buruk.
Saya akui, saya bisa mendapatkan istri dan kemudian hidup tanpa anak juga karena mengenal perbatasan. Diam-diam, dulu istri saya adalah orang perbatasan. Setelah saya memutuskan hubungan dengan sejumlah pacar saya yang pernah menemani dalam perjalanan sebagai pesepeda ke sejumlah pelosok, saya pernah menikah secara baik-baik dengan seorang perempuan di sebuah perbatasan, tanpa ada proses pacaran yang berarti. Hanya karena kekuatan sorot mata saja yang membuat saya teramat jatuh cinta kepadanya. Tentu saja, pernikahan ala saya mengikuti tata cara di daerah perbatasan itu. Celakanya, setelah istri sah saya tersebut saya boyong ke kota, ia justru susah beradaptasi dengan kebiasaan hidup di kota. Saya sudah mati-matian mengajarinya bertahan dengan tata cara hidup di kota, namun sampai sekitar setahun istri saya itu belum juga mampu beradaptasi dengan baik. Akhirnya, kami bercerai secara baik-baik. Saya kembalikan ia hidup di perbatasan.
Saya kini jelas telah berada di ambang perbatasan usia, hidup sebatang kara dengan sisa kekayaan korupsi ayah saya yang saya perkirakan akan habis tepat ketika saya nanti tidak lagi berhenti di persimpangan jalan mana pun. Mudah-mudahan, belakangan ini masih cukup waktu bagi saya untuk selalu menghargai setiap persimpangan jalan. Memang, ada satu persimpangan dan perbatasan yang sejauh ini belum pernah saya temui: itulah persimpangan atau perbatasan yang membuat saya tidak lagi mengayuh sepeda di hari berikutnya. (*)
More aboutDi Persimpangan di Perbatasan

Rumah Tuhan

Diposting oleh Unknown




Cerpen A.K Basuki

Rumah Tuhan ilustrasi Dyan Anggraini
IBUKU adalah perempuan pemilik jiwa yang hangat. Rasa cinta pada sesama telah dibungkusnya dengan rapat, ikhlas, tanpa ada sebuah cela bernama pamrih yang bisa mendesak dan merobeknya. Dia perempuan yang pernah menikmati bahagia bagi dirinya sendiri dan telah merasa puas. Kini bahagianya sudah mencapai tingkat sempurna, merasa tanpa merasa. Kebahagiaan orang lain adalah pula miliknya, begitu juga dengan kesedihan dan kesakitan mereka.
“Mari bertandang. Soalnya, Tuhan selalu berada di sana, dekat pada yang sakit. Di sanalah rumah-Nya.” Itu kata-kata ajaibnya untuk menggugah semangatku, agar bersedia mengantarnya selalu, bertandang ke rumah Tuhan. Seperti ada radar di kepalanya yang akan mengirimkan impuls untuk menggoyangkan sebuah lonceng sehingga seisi rumah akan segera terjaga jika ada seorang sakit yang harus dijenguk. Tak peduli di siang hari yang panas maupun malam dengan kegelapan yang nyata. Memang terkadang membuatku menggerutu, tapi rasa hormat dan sayangku melebihi keinginan membantahnya. Lagipula, rasa penasaran akan Tuhan selalu berhasil dimunculkannya kemudian lewat kalimat bertubi-tubi yang lebih berupa bujukan untukku. Itu membuatku tak hendak melepaskannya sendiri. Semua toh pada akhirnya akan kulakukan demi Ibu.
Selama dalam perjalanan, Ibu akan lebih banyak diam. Seakan-akan doa telah dirapalkan dalam hati sejak kakinya menjejak heksagon paving block terakhir halaman rumah kami. Kadang aku iseng menggodanya dengan menyanyikan lagu-lagu yang kocak, tapi desis dari bibirnya akan mencegahku. Jika itu dirasa tak cukup, sebuah jeweran pada telingaku akan menjadi lebih ampuh.
“Kau tahu, ada hikmat yang harus disiapkan sejak kita bertolak untuk melakukan ini. Sebuah keheningan yang maha, dimulai dari hati kita. Itulah sebutan lain dari sebuah doa. Setiap jengkal jarak yang kita tempuh akan dikumpulkan oleh malaikat untuk ditaburkan di ranjang si sakit. Memberikan mereka kekuatan. Sakit seseorang juga merupakan sebuah peringatan Tuhan agar kita makin merasa dekat dengan-Nya. Bukankah kita beruntung?”
Baiklah. Amin.
Tanpa bermaksud memungkiri bahwa aku adalah anak kurang ajar ketika harus menahan hati dari memaki diri sendiri pada saat menemaninya ke rumah-rumah orang yang bahkan sama sekali tak pernah kukenal, lama kelamaan aku terbiasa. Tapi rasa terbiasa itu tidak bisa mencegahku semakin berani pula untuk beralasan sekali waktu. Apakah jika separuh penduduk bumi dikenalnya, akan semua didatangi jika sedang menderita sakit?
“Kenapa rumah Tuhan tak satu saja? Akan lebih mudah,” kataku suatu hari saat dia memintaku mengantarnya untuk kesekian kali. Itu waktu pertama di mana gejolak darah mudaku tengah menepikan semua kepentingan selainnya hingga berani menolak dan membantah. Ibu mengernyitkan alis.
“Kau tak mau mengantar Ibu?”
“Aku sedang tak ingin pergi kemana-mana, Bu. Ke rumah Tuhan sekalipun.”
“Lancang! Tuhan mendengar perkataanmu dan malaikat mencatatnya. Sebagai ganjaran, kelak jika waktumu tiba, kau akan tertunda di muka gerbang surga menunggu kepastian-Nya. Kepanasan dan sendirian!”
Ngeri mendengar kata-katanya, tapi aku masih mengeyel, “Bekalku sudah banyak, Bu. Sambil menunggu gerbang dibukakan, akan kuhabiskan bekalku itu.”
“Sudah berapa banyak bekalmu?”
“Sebanyak yang Ibu pernah berikan.”
“Kalau demikian, pastilah belum cukup.”
Lalu begitu saja disiapkannya sendiri barang-barang bawaan yang hendak dipersembahkan pada si sakit tanpa mencoba memaksaku lebih jauh. Mungkin dalam pikiran Ibu, aku sudah terlalu besar untuk dimuntahi kata- kata yang hanya mempan pada anak-anak ingusan. Seingatku, itu satu-satunya pembangkanganku, tapi tak lama.
“Kenapa rumah Tuhan tak hanya satu?” tanyaku sedikit berteriak mencoba sedikit menyamarkan perasaan sesalku sewaktu punggung Ibu telah lenyap di balik pagar.
Terdengar jawabannya, “Di mana si sakit berbaring, di situlah rumah-Nya. Jika Dia hanya berumah satu, tentu kau hapali jalan ke rumah itu lalu kau akan menjadi sombong dan jauh lebih bosan dari sekarang.”
Bertambah besar penyesalan, aku berlari mengejarnya, “Ibu! Ibu!”
Tapi dia sudah lenyap di belokan pertama. Padahal ingin sekali aku mendengar apa pun lagi dari perkataannya tentang rumah Tuhan agar kemalasanku hari itu bertemu upasnya. Bergegas kunyalakan mesin sepeda motor, berharap masih tercium aroma tubuhnya di jalanan kecil yang dilewati agar bisa kudapatkan dia, lalu kuantarkan kemana saja dia mau. Pikirku, jika kaki-kaki Ibu lelah, itu sungguh karena kesalahanku. Jika Tuhan tiada di tempat yang dituju karena telah pergi ke rumah lain yang tiada diketahuinya, itu juga karena salahku. Ibu tak ingin terlambat, tapi aku malah memperlambatnya. Maka legalah hatiku saat kutemukan dia beberapa ratus meter kemudian, berdiri di seberang rumah Ayah.
“Tuhan di sini?” tanyaku berdebar. Mungkin Ayah sakit. Tapi Ibu hanya memandangi rumah bercat kuning itu dengan tatapan sarat makna yang sedikit banyak bisa kumengerti.
“Untuk apa aku menyusul Ibu jika hanya untuk mencari Tuhan di tempat ini?”
“Ssh… tak baik berkata begitu. Ibu hanya tiba-tiba ingin melalui jalan ini. Lihatlah, rumahnya yang sekarang tak ada bedanya dengan rumah kita, hanya saja….”
Ya, aku tahu. Sudah jelas rumah Ayah sonder cinta. Dingin tanpa kemungkinan menjadi hangat seperti jika paparan cahaya matahari mampu menyusup lewat setiap celah yang ada pada dinding atau gentingnya. Tak seperti haru-biru Ibu yang bertahan dengan harga diri dan cintanya, Ayah justru senantiasa goyah dan berkali-kali ingin kembali. Tapi pertahanan Ibu memang telah solid melindungi dirinya dari kuasa cinta Ayah. Rumah tangga Ayah yang baru sama bobroknya dengan yang lama. Bedanya, kesalahan bukan dari sudutnya lagi seperti yang terjadi antara dirinya dan Ibu. Ayah sudah mengkhianati Ibu, begitu pula nasib yang didapatnya kemudian.
“Marilah, Bu,” ajakku. Tak sudi aku berlama-lama di tempat itu. Lebih tak sudi lagi melihat cinta yang kadang masih berkobar di matanya. Aku tahu, sudah beberapa kali Ayah datang untuk meminta maaf dan ingin kembali kepada Ibu. Tapi Ibu tak merasa harus memaafkan atau tak memaafkan siapa-siapa, dia hanya tak hendak mempergunakan haknya. Selepas Ayah pergi, satu-satu pintu memang telah ditutupnya walaupun cinta tentu saja tak pernah mati.
Ketika kami telah sampai di satu kompleks perumahan, Ibu turun dari boncengan dan tertegun.
“Di sanalah rumah Tuhan,” tunjuknya ke satu rumah dengan orang-orang yang sibuk. Kami memang telah terlambat, tapi sejak itu hatiku bersumpah untuk tak akan pernah lagi menunda-nunda ajakannya.

***
Hingga akhirnya tiba juga saat-saat yang mungkin paling ditakutkan Ibu. Tuhan menyambangi rumah Ayah.
“Ayahmu sakit. Kita harus bertandang,” katanya pagi ini. Kulihat matanya telah basah seperti baskara terhembalang hujan. Raut wajahnya terlihat lebih bingung dari biasa. Seakan-akan sakit seorang ini merupakan kumulasi dari sakit belasan orang yang pernah dijenguknya. Aku tak sependapat. Ayahku itu toh orang khianat.
“Parahkah?” Ibu mengangguk.
“Kudoakan Tuhan tak ada di sana.”
Tangan Ibu tangkas terangkat hendak memberikan dera pada pipiku, tapi urung. Wajahnya jadi kelabu. Sangatlah tak layak baginya mempertunjukkan ekspresi wajah itu bagi kemalangan Ayah. Bagiku, seribu kali orang itu mengaduh kesakitan atau mengharapkan pertolongan, tak lagi aku akan memperhatikannya. Sebaliknya, tentu saja Ibu berbeda.
“Dengan begini apakah Ibu meninggikan derajat ayahmu dibanding yang lain? Bukankah dia sama saja dengan siapa pun yang tengah menderita sakit?” dia bertanya. Itu seperti sebuah pertanyaan pula bagi dirinya sendiri untuk meyakinkan kembali keyakinannya. Aku tak mau menjawab.
“Gegaslah, Ibu salah telah membiarkan dogma mengeram hampir abadi di kepalamu. Dulu kau masih terlalu muda untuk mengerti dan Ibu meminta maaf untuk itu.”
Hatiku menyangkal. Saat Ayah khianat, aku memang masih terlalu muda, tapi telah mengerti sebuah daya tarik dari sebentuk makhluk bernama perempuan. Daya tarik yang mengisap ayahku ke dalamnya seperti binatang hina tersesat ke dalam lumpur pengisap karena kerakusannya. Dari sana aku tahu, Ibu menjadi seorang perempuan yang tak menarik lagi bagi Ayah walaupun bagiku dia adalah secantik-cantiknya perempuan. Ayah lupa diri.
Akhir-akhir ini dia memang sering bertandang kemari, tapi aku tetap tak bisa melupakan kesalahannya. Enak saja dia berkeinginan pulang setelah merasa puas dan ketuaan mulai menggerogoti tubuhnya. Mungkin dia telah berfirasat, kematian sewaktu-waktu akan menjemputnya. Dan bila saat itu datang dia ingin berada di samping perempuan pertamanya.
“Gegaslah,” bisik Ibu. Tak memaksa, tapi memohon. Setengah enggan aku menuruti hanya untuk menjadi sadar setelahnya bahwa rumah Ayah tak begitu jauh. Ibu memang mengharuskanku untuk ikut, bukan untuk sekadar mengantarnya seperti waktu-waktu biasa. Semoga Tuhan tak di sana, gerutuku dalam hati.
Sepanjang perjalanan kaki-kaki kami, doa Ibu bertebaran. Bagaikan dapat kulihat setiap huruf dalam doa yang keluar dari mulutnya dan memudahkanku mengeja. Tanpa terasa, aku turut berdoa. Tapi itu kulakukan untuk Ibu, bukan untuk Ayah.
Di gerbang rumah Ayah, beberapa orang yang mengetahui hubungan kami dengan si sakit tergopoh-gopoh menyambut. Nyawa Ayah hanya akan lepas jika telah bertemu kami, kata salah satu dari mereka. Terdengar kasar dan tak pantas di telingaku, tapi tak mengapa. Ayah patut mendapatkannya. Ibu pun tak merasa akan membuka jalan kematian bagi Ayah. Hatinya hanya berduka, lain tidak.
Di depan pintu kamar Ayah, Ibu berhenti sejenak. Lengannya merangkul leherku dan didekatkan bibirnya pada telingaku, berbisik, “Pasang senyuman terbaikmu.”
Seketika, pintu rumah Tuhan terbuka. (*)
More aboutRumah Tuhan

Sebelum Debar Menjalar

Diposting oleh Unknown on Selasa, 18 Juni 2013


Jangan kau simpan sendiri,bila memang hati tak mmpu menaungi.
Pada suka,lelah, dan luka yang sama pula,
Aku menangkap sepasang gugup yang telah meraup.
Meski kau pandai mentup, tapi aku telah membaca peta itu dari kedua matamu..

Memang tak sempat kita membayangkan, apalgi berpetualang.
Sebab rumah kita adalah siput, mudah mengatup bila ada suara.
Apalgi tatap yang menyimpan curiga, membut kita segera tenggelam pada rasa bersalah.
Sa'at ini aku memang yang memegang kemudi,
tapi jangn kau pikir aku nakhoda yang mampu melindungi kapal ini dari undagan maut.
Sebab diri ini juga kerap terlarut dari pungut, yang mmbuatku bertekuk lutut..

Namun khawtir sudah tidak mengikut, sebab ku tahu kau mewarisi sikapku.
Tak perlu kau bimbang, sebab gemintang, mentari, api
dan juga bidadari siap menemani bila sepi mulai menghmpiri taman hati..

Sebelum Debar Menjalar,
pulangkan rasa itu pada pekat hatimu yang masih ungu.
Kelak bila waktu sudah membuatkan peta untkmu,
kau tak akan bingung untuk berpetualang.
Tapi pesanku, untuk saat ini simpan dulu.
Sebab hatimu belum menyimpan sejarah atas luka dan bujuk rayu..
More aboutSebelum Debar Menjalar

Aku Melihat mu

Diposting oleh Unknown


Pada ranum wajahmu,
Aku tak tahu musim apa dimatamu.
Pada bugar dedaunanmu,
Aku tak mengerti apa yang tersimapn di akarmu.
Pada liat cintamu,
Aku tak paham keindahan nasibku.

 

Karna Ampunan
Bukn noktah,bukan zarah
Apalagi larutan maghrib yang
tertumpah.

Maka gegar laparku adalah benalu
sembunyi ke lain sisi dunia,
seperti aib dan porak bahasa
yg tak pernah ketemu kamusnya.

Pada kenyal dzatmu,
Mengalir deras sungai darah ku.


oleh : ken 2010
More aboutAku Melihat mu

Belajar

Diposting oleh Unknown


Kauminta aku menulis cinta
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan
seterusnya
Kubolak - balik seluruh abjad
Kata - kata cacat yang kudapat..


Jangan lagi minta aku menulis cinta.
Huruf - hurufku, kau tahu,
bahkan tak cukup untuk namamu..


Sebab cinta adalah kau,yang tak mampu kusebut
kecuali dengan denyut..

oleh : ken
More aboutBelajar

Karya Puisi-puisinya Dan Biografi Singkat Ahmad Mustofa Bisri ( gus mus )

Diposting oleh Unknown

Puisi-puisi karya Gus mus
BILA KUTITIPKAN

Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung

Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai

Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang

Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi

Kan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku

Kusimpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku

Kusimpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku

Kusimpan sendiri.

Sajak Cinta

Sajak Cinta
cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta romeo kepada juliet si majnun qais kepada laila
belum apa-apa
temu pisah kita lebih bermakna
dibanding temu-pisah Yusuf dan Zulaikha
rindu-dendam kita melebihi rindu-dendam Adam
dan Hawa
aku adalah ombak samuderamu
yang lari-datang bagimu
hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu
aku adalah wangi bungamu
luka berdarah-darah durimu
semilir sampai badai anginmu
aku adalah kicau burungmu
kabut puncak gunungmu
tuah tenungmu
aku adalah titik-titik hurufmu
huruf-huruf katamu
kata-kata maknamu
aku adalah sinar silau panasmu
dan bayang-bayang hangat mentarimu
bumi pasrah langitmu
aku adalah jasad ruhmu
fayakun kunmu
aku adalah a-k-u
k-a-u
mu

A. Mustofa Bisri
Rembang, 30.9.1995


Aku takkan memperindah kata-kata

Karena aku hanya ingin menyatakan
Cinta dan kebenaran
Adakah yang lebih indah dari
Cinta dan kebenaran
Maka memerlukan kata-kata indah?



Bagimu

Bagimu kutancapkan kening kebangganku pada rendah tanah
Telah kuamankan sedapat mungkin imanku
Kuselamat-selamatkan islamku
Kini dengan segala milikmu ini
Ku serahkan kepadamu, Alloh
Terimalah

Kepala bergengsi yang terhormat ini
Dengan kedua mata yang mampu menangkap gerak-gerik dunia
Kedua telinga yang dapat menyadap kersik-kersik berita
Hidung yang bisa mencium wangi parfum hingga borok manusia
Mulut yang sanggup menyulap kebohongan menjadi kebenaran
Seperti yang lain
Hanyalah seper sekian percik tetes anugerahmu
Alangkah amat mudahnya Engkau melumatnya, Alloh
Sekali engkau lumat terbanglah cerdikku
Terbanglah gengsiku
Terbanglah kehormatanku
Terbanglah kegagahanku
Terbanglah kebanggaanku
Terbanglah mimpiku
Terbanglah hidupku
Alloh
Jika terbang, terbanglah
Sekarang pun aku pasrah
Asal menuju haribaan rahmatmu

 Kalau Kau sibuk Kapan Kau Sempat


Kalau kau sibuk berteori saja
Kapan kau sempat menikmati mempraktekan teori?
Kalau kau sibuk menikmati praktek teori saja
Kapan kau memanfaatkannya?

Kalau kau sibuk mencari penghidupan saja
Kapan kau sempat menikmati hidup?
Kalau kau sibuk menikmati hidup saja
Kapan kau hidup?
Kalau kau sibuk dengan kursimu saja
Kapan kau sempat memikirkan pantatmu?
Kalau kau sibuk memikirkan pantatmu saja
Kapan kau menyadari joroknya?

Kalau kau sibuk membodohi orang saja
Kapan kau sempat memanfaatkan kepandaianmu?
Kalau kau sibuk memanfaatkan kepandaianmu saja
Kapan orang lain memanfaatkannya?

Kalau kau pamer kepintaran saja
Kapan kau sempat membuktikan kepintaranmu?
Kalau kau sibuk membuktikan kepintaranmu saja
Kapan kau pintar?

Kalau kau sibuk mencela orang lain saja
Kapan kau sempat membuktikan cela-celanya?
Kalau kau sibuk membuktikan cela orang lain saja
Kapan kau menyadari celamu sendiri

Kalau kau sibuk bertikai saja
Kapan kau sempat merenungi sebab pertikaian?
Kalau kau sibuk merenungi sebab pertikaian saja
Kapan Kau akan menyadari sia-sianya

Kalau kau sibuk bermain cinta saja
Kapan kau sempat merenungi arti cinta?
Kalau kau sibuk merenungi arti cinta saja
Kapan kau bercinta

Kalau kau sibuk berkhutbah saja
Kapan kau menyadari kebijakan khutbah?
Kalau kau sibuk dengan kebijakan khutbah saja
Kapan kau akan mengamalkannya?

Kalau kau sibuk berdzikir saja
Kapan kau sempat menyadari keagungan yang kau dzikir?
Kalau kau sibuk dengan keagungan yang dzikiri saja
Kapan kau mengenalnya?

Kalau kau sibuk berbicara saja
Kapan kau sempat memikirkan bicaramu?
Kalau kau sibuk memikirkan bicaramu saja
Kapan kau mengerti arti bicara?

Kalau kau sibuk mendendangkan puisi saja
Kapan kau sempat berpuisi?
Kalau kau sibuk berpuisi saja
Kapan kau memuisi?

Kalau kau sibuk dengan kulit saja
Kapan kau sempat menyentuh isinya?
Kalau kau sibuk menyentuh isinya sja
Kapan kau sampai intinya?
Kalau kau sibuk dengan intinya saja
Kapan kau memakrifati nya-nya?
Kalau sibuk memakrifatinya nya-nya saja
Kapan kau bersatu dengan Nya?

Kalau kau sibuk bertanya saja
Kapan kau mendengarkan jawaban

oleh: Ahmad Mustofa Bisri

PENCURI

Ada yang dicuri dari diriku
Sesuatu yang membuatku
Kemudian pun jadi pencuri
Diam diam dan terus menerus dicuri
dariku apa yang bisa dicuri
Diam diam dan terus menerus kucuri

apa yang bisa kucuri
Malam pun menjadi sahabat
Malu menjadi laknat.
Rasa ragu menjadi pengganggu
Rasa rindu menjadi penunggu
Aku dicuri setiap saat
Aku mencuri setiap sempat
Setiap kali
Dicuri diriku
Kucuri diriku
Sendiri.

A. Mustofa Bisri
1998



Biografi Singkat Ahmad Mustofa Bisri ( Gus Mus )


Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944,dengan nama lengkap Achmad Mustofa Bisri, Beliau dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin.
Ahmad mustofa bisri atau yang akrap di sapa dengan (gus mus ) itu, selain sebagai ulama dan Rais Syuriah PBNU, Gus Mus juga dikenal sebagai budayawan dan penulis produktif. 
Menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa, seperti: 

Intisari; Ummat; Amanah;Ulumul Qur’an; Panji Masyarakat; Horison; Jawa Pos; Republika; Media Indonesia; Tempo; Forum; Kompas; Suara Merdeka; Kedaulatan Rakyat; Detak; Wawasan; Bali Pos; Dumas; Bernas… 
Sejumlah karya yang telah diterbitkan: 



●Ensiklopedi Ijmak (Terjemahan bersama KHM Ahmad Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta); 
● Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya); 
● Awas Manusia dan Nyamuk Yang Perkasa (Gubahan Cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta); 
● Maha Kiai Hasyim Asy’ari (Terjemahan, Kurnia Kalam Semesta, Jogjakarta); 
● Syair Asmaul Husna (Bahasa Jawa, Cet. I Al-Huda, Temanggung; Cet. II 2007, MataAir Publishing); 
● Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung); 
● Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Ummat (Cet. II 1999, Risalah Gusti, Surabaya); 
● Al-Muna, Terjemahan Syair Asma’ul Husna (Al-Miftah, / MataAir Publishing Surabaya); 
● Mutiara-mutiara Benjol (Cet. II 2004 MataAir Publishing, Surabaya); 
● Fikih Keseharian Gus Mus (Cet. I Juni 1997 Yayasan Al-Ibriz bejerhasana dengan Penerbit Al-Miftah Surabaya; Cet. II April 2005, Cet. III Januari 2006, Khalista, Surabaya bekerjasama dengan Komunitas Mata Air); 
● Canda nabi & Tawa Sufi (Cet. I Juli 2002, cet. II November 2002, Penerbit Hikmah, Bandung);
● Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Jogjakarta) 
• Kompensasi (Cet. I 2007, MataAir Publishing, Surabaya) 




Dan masih banyak lagi karya-karya beliau. Mungkin hanya itu yang sedikit aku masukan, semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi kita semua. Amin..
More aboutKarya Puisi-puisinya Dan Biografi Singkat Ahmad Mustofa Bisri ( gus mus )